Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Menjawab Paradigma Pendidikan Kritis

Redaksi
×

Menjawab Paradigma Pendidikan Kritis

Sebarkan artikel ini

PARADIGMA pendidikan kritis perlu kembali dinilai di era digital dan kemajuan teknologi. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang mencankup segala aspek “yang seharusnya” tetapi di sisi lain hanya melangsungkan proses pada satu sisi saja, itulah yang di khawatirkan dalam proses pendidikan.

Kalau kita melihat secara fitrah manusia diciptakan dengan keadaan suci sehingga untuk mengembangkannya perlunya pendidikan, dengan mengenyam pendidikan setidaknya manusia bisa hidup lebih survive dalam menghadapi realitas kekinian.

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran melalui berbagai cara baik itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun non formal.

Pergaulan dalam pendidikan sendiri perlu adanya acuan dan arahan yang jelas supaya kelak anak didik dapat memfungsikan ilmu yang didapat dari pendidikannya.

Lalu melihat akar permasalahan pendidikan kita apakah pendidikan kita (Indonesia) sudah bisa dikatakan maju ?, atau sudah dikelola dengan baik ? itu menjadikan kita bagaimana menelusuri dan nantinya bisa kita perbaiki untuk menuju arah pendidikan yang lebih baik.

Islam sebagai agama sekaligus sebagai acuan untuk anutan dengan berpijak pada Al-Qur’an dan al Hadits juga perlu memberikan kontribusi kepada pendidikan, dan kita sebagai orang islam harus punya alternatif bagi bangsa upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai aturan islam.

Pendidikan nasional sendiri berfungsi sebagai pengembangan kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan tujuannya.

Pendidikan Islam Kritis

Pendidikan islam merupakan bentuk bagaimana kita bisa mengartikulasikan agama dalam ranah kehidupan manusia dan itu merupakan sesuatu yang fenomenal.Dalam praktiknya agama sendiri merupakan keyakinan (belief) dogma tradisi, praktik dan ritual.[1]

Dengan realitas tersebut doktrin dan berbagai warisan ajaran tersebut sangat riskan bila dikaitkan dengnan hubungan sosial keagamaan di negara majemuk ini dan bisa-bisa menjadi biang keladi masalah baru, dan ini juga tergantung orang yang memahami keagamaan apakan secara sempit atau secara luas (holistik).

Islam mengajarkan konsep universalitas untuk terbuka terhadap segala hal, dalam bidang pendidikan kita perlunya penguatan kembali nilai-nilai islam dan perlunya rekonstruksi paradigma kritis-inovatif upaya menegaskan harmonisasi dan dialog.Paradigma islam.

Dalam buku The Structure of Scientific Revolutions, Thomas S. Khun mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang sudah ada menjadi sebuah paradigma (yang disebut normal science) telah mengalami krisis, lalu timbulah revolusi ilmu.

Kemudian ilmu memberontak itu menjadi normal science, menjadi sebuah paradigma baru.[2] Paradigma baru dalam ilmu-ilmu sekular ( dipakai dalam konotasi negatif) yang terbentuk dengan mengubah pendapat tentang ontologi (hakikat keberadaan) ialah barat dan marxisme.

Barat adalah idealisme dan marx adalah materialisme. Paradigma dalam psikologi terbentuk dalam mengubah pandangan tertentu tentang aksiologi (nilai) manusia. Begitu juga bagaimana membangun pendidikan kritis yang mengintegrasikan keilmuan barat dan Islam.

Menurut Sigmund Freud manusia adalah libidinal force-nya, psikologi behaviorisme menemukan bahwa manusia adalah mesin yang digerakkan berdasarkan mekanisme stimulus dan respon, psikologi humanistik menemukan bahwa manusia berhasrat untuk mengalami peak experience, sementra victor frankl menemukan bahwa manusia berhasrat akan makna.[3]