Scroll untuk baca artikel
Blog

Menumbuhkan Generasi Pemimpin

Redaksi
×

Menumbuhkan Generasi Pemimpin

Sebarkan artikel ini

SEORANG karib bertanya kepada saya, “Mas, mengapa kalau yang jadi presiden itu orang dari partai merah, situasi kok mesti kacau seperti ini ya?”

Sudah bisa ditebak, bahwa yang bertanya, adalah kawan dari partai atau golongan bukan merah. Saya tidak melakukan pembelaan, tetapi saya menyampaikan sebuah fakta yang lebih luas.

Saya sampaikan, sering kali terjadi, jika yang pemimpin orang dari kelompok merah, warga dari kelompok hijau dan kuning tidak merasa nyaman. Jika yang memimpin dari kubu hijau, yang merah dan kuning tidak tentram. Demikian juga kalau yang memimpin kuning, yang hijau dan merah tidak merasa damai. Rasanya lama dipimpin, dan ingin segera dipimpin dari kelompok sendiri.

Karena saya sampaikan dengan gaya bercanda, rekan saya itupun tertawa-tawa. Tentu saja, agar tidak pesimistis, saya sampaikan juga bahwa selalu ada pemimpin di masa kemerdekaan hingga sekarang, di berbagai level, tidak hanya level tertinggi, yang ketika memimpin, dicintai oleh semua kelompok.

Juga, kalau diamati, tidak semua produk seorang pemimpin yang berasal dari satu kelompok itu, jelek semua untuk kelompok lain. Ada produk kebijakan, bahkan banyak kebijakan, yang baik-baik.

Merah, kuning, dan hijau adalah simbol abangan, priyayi, dan santri. Teoritisasi ini dilakukan oleh antropolog Amerika Clifford Geertz untuk menyederhanakan memahami bangunan pembentuk warga. Meskipun teori ini oleh sementara pakar sudah dianggap mengalami anomali, tapi saya masih sering menggunakannya untuk menyederhanakan penjelasan pengelompokan politik di masyarakat kita.

Bahwa selalu langka adanya pemimpin yang diterima semua kelompok, barangkali adalah fakta di Indonesia. Tetapi, fakta sejarah pula, ada pemimpin yang diterima semua kelompok. Pemimpin jenis inilah yang selalu di tunggu.

Di masyarakat Jawa, pemimpin yang dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan, selalu ditunggu kehadirannya. Sebagian masyarakat bahkan memitoskannya dengan sebutan ratu adil. Kedatangan ratu adil itu, biasanya seiring dengan memburuknya keadaan sosial ekonomi sebuah masyarakat.

Saya termasuk orang yang lebih suka membicarakan cara memunculkan pemimpin yang adil dan dibutuhkan semua orang, lebih dari hanya berharap kedatangan ratu adil. Jangan ditunggu, tapi mari kita ciptakan pemimpin yang baik yang dibutuhkan masyarakat.

Pemimpin-pemimpin yang baik ini ukurannya sederhana. Dia bisa membantu menyelesaikan masalah masyarakatnya. Dia juga diterima anggota masyarakat yang tidak berasal dari kelompoknya. Tingkatannya bisa dari skala kampung, desa, kecamatan, kota dan kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara dan dunia.

Bagaimana cara menumbuhkannya? Tentu saja harus ada perencanaan, rekayasa sosial untuk itu. Sehingga, kemuncululan pemimpin, seolah-olah alami terjadi.

Saya akan menyampaikan contoh lahirnya seorang pemimpin dari buku yang saya tulis. Buku tentang pak KH Abdul Rozaq (AR) Fachruddin, almarhum, mantan ketua PP Muhamamdiyah di masa Orde Baru.

Ia memimpin Muhammadiyah dalam waktu yang panjang, sejak 1968 hingga 1990. Saya beruntung bertemu dengan begitu banyak narasumber yang memberi informasi penting, sehingga saya berkesimpulan, pak AR lah, demikian KH AR Fachruddin biasa dipanggil, pemimpin terbesar Muhammadiyah, sesudah KH Ahmad Dahlan sendiri, sang pendiri ormas Islam terbesar selain NU.

Dari apa yang disampaikan oleh beberapa narasumber di buku itu, saya menyimpulkan, bahwa yang namanya pemimpin, adalah sebuah produk bersama. Produk keluarga di mana orangtuanya menyiapkan anaknya dengan bekal ilmu dan agama, agar siap memimpin masyarakat.