Dan tentu saja, di luar rekayasa yang dilakukan lingkungan sosial serta organisasi di mana dia berlindung, seorang pemimpin tumbuh karena jati dirinya sendiri. Keberanian, kejujuran, kebijakan dalam melibat masalah dan bersikap sebagaimana seorang pemimpin, sering adalah karena sikap personalnya sendiri.
Saya tidak selalu sepakat dengan pendapat bahwa suara rakyat selalu merupakan suara Tuhan sebagaimana kampanye sebagian aktivis demokrasi. Cukup banyak kasus, saya temui di mana suara mayoritas rakyat, sering tidak memilih pilihan yang lebih baik dalam pilihan publik.
Dalam hal kebijakan personal juga demikian. Seorang pemimpin, tidak selalu berani memutuskan pilihan yang lebih baik. Dan bahkan memilih pilihan yang kalah baik. Pada posisi ini, pilihan kebijakan seorang pemimpin yang dilakukan secara personal menjadi penting.
Ada lagi hal penting yang mesti diperhatikan. Bagaimana lahirnya pemimpin yang berasal dari satu kelompok itu, dan diterima oleh kelompok yang lain itu, terjadi tidak otomatis. Melalui pendidikan juga. Calon pemimpin itu harus berani masuk ke kelompok lain. Memperkaya ilmu dan wawasan yang berasal dari kelompok lain, juga membangun kesediaan menerima kritik, tanpa harus kehilangan jati diri.
Istilah yang dipakai oleh pendeta Th. Sumartana untuk jenis orang yang bersedia masuk ke satu komunitas ke komunitas lain untuk memperkaya pikiran dan wawasan serta lalu kembali ke komunitasnya sendiri dengan tidak kehilangan jati diri itu, ibarat melakukan passing through. Langkah yang seharusnya dilakukan semua kader pemimpin, meminjam istilah yang dipakai ekonom-ekonom Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yuni Prihadi Utomo: melintas batas.
Kemudian, jika ada pertanyaan, mengapa saat ini tidak muncul pemimpin? Atau kalau muncul pemimpin hanya menyanangkan kelompok sendiri? Menurut saya, ya sekian syarat pendidikan pemimpin itu, harus ditelaah. Apakah masih ada, kurang ada, tidak ada lagi ada, atau tidak ada sama sekali.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini, bisa kita ajukan kepada beberapa pihak. Pertama, apakah keluarga-keluarga kita saat ini, tidak mendidik anak-anaknya untuk melayani banyak orang, dan lebih fokus mendidik anak untuk memenuhi masa depannya sendiri? Selanjutnya, apakah keluarga-keluarga, juga tidak lagi memfasilitasi anak-anak keluarga lain sebagai bagian dari laku amal?
Bagaimana dengan sekolah-sekolah kita, pesantren, pendidikan informal dan non-formal. Apakah menyediakan guru yang mengajarkan perilaku memimpin melayani, lebih dari mengembangkan kemampuan profesional?