Hal ini penting untuk diketahui karena jika kita salah melakukan motivasi kepada peserta didik, bukannya semakin produktif tetapi justeru akan sebaliknya. Beberapa teori menyebutkan bahwa hal ini terkait langsung dengan kecenderungan anak dalam bagaimana merespon setiap stimulus yang datang dari luar dirinya.
Anak yang berkecenderungan merespon stimulus dengan potensi kognitifnya tentu akan memiliki perbedaan cara dalam memotivasi dengan anak yang memiliki kecenderungan affektif. Demikian pula dengan anak yang memiliki kecenderungan psikomotorik.
Bagi peserta didik yang cenderung merespon stimulus dari luar dengan kemampuan afektifnya maka lebih mudah memotivasinya dengan cara memuji ketimbang dengan mengetengahkan logika sebab akibat yang rasional. Karena anak yang memiliki kepribadian afektif tidak mementingkan logika sebab akibat meskipun logika sebab akibat tersebut juga menjadi acuan dalam sikapnya.
Keempat adalah mengenali cara belajar yang paling efektif bagi setiap peserta didik. Kita semua mafhum bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki model belajarnya secara unik. Ada anak yang lebih dominan dengan menggunakan panca indera penglihatannya.
Ada pula yang cenderung dengan audio visualnya. Ada pula yang belajar efektifnya melalui kombinasi audio dan gerak fisiknya. Dan ada pula yang langsung dengan prakteknya.
Jika guru dapat mengenali variabel ini lebih dini dan mendalam maka gejala stress belajar pada peserta didik akan dapat dengan mudah dihindari. Dan yang paling penting anak akan dapat menyerap pengetahuan dengan lebih cepat ketika seorang gurumendampingi belajar peserta didiknya sesuai dengan hal tersebut di atas.
Kelima adalah mengenal bakat dan minat wirausaha setiap peserta didik. Ada sebagian anak yang memiliki bakat bahasa dan segala variasinya. Ada pula anak yang memiliki bakat kinestatik halus. Ada pula yang memiliki bakat audio atau geometri spasial dan lain sebagainya. Pemetaan ini penting agar peserta didik dapat mengenali dan melakukan proyek-proyek berbasis minat dan bakatnya. Di titik inilah peserta didik akan berproses menjadi E4K.
Bagi siswa yang memiliki bakat musik misalnya, ia akan didorong untuk menekuni bidang tersebut. Atau bagi peserta didik yang memiliki bakat memasak maka bagaimana ia difasilitasi untuk berkembang bakatnya.
Pada titik ini pula peran guru dalam memotivasi peserta didik menjadi penting sekaligus dituntut lebih, karena pada proses interaksinya peserta didik boleh jadi minder atau mendapat tekanan dari luar. Bakat masak memasak misalnya akan dipandang rendah oleh mereka yang memiliki bakat rekayasa robotik misalnya.
