Scroll untuk baca artikel
Blog

Merdeka Belajar, Menciptakan Wirausaha Muda, Mengapa Tidak?

Redaksi
×

Merdeka Belajar, Menciptakan Wirausaha Muda, Mengapa Tidak?

Sebarkan artikel ini

Kelima adalah mengenal bakat dan minat wirausaha setiap peserta didik.  Ada sebagian anak yang memiliki bakat bahasa dan segala variasinya.  Ada pula anak yang memiliki bakat kinestatik halus.  Ada pula yang memiliki bakat audio atau geometri spasial dan lain sebagainya.  Pemetaan ini penting agar peserta didik dapat mengenali dan melakukan proyek-proyek berbasis minat dan bakatnya.  Di titik inilah peserta didik akan berproses menjadi E4K. 

Bagi siswa yang memiliki bakat musik misalnya, ia akan didorong untuk menekuni bidang tersebut.  Atau bagi peserta didik yang memiliki bakat memasak maka bagaimana ia difasilitasi untuk berkembang bakatnya. 

Pada titik ini pula peran guru dalam memotivasi peserta didik menjadi penting sekaligus dituntut lebih, karena pada proses interaksinya peserta didik boleh jadi minder atau mendapat tekanan dari luar.  Bakat masak memasak misalnya akan dipandang rendah oleh mereka yang memiliki bakat rekayasa robotik misalnya. 

Bahkan tak jarang tekanan itu justeru datang dari orang tua si anak itu sendiri.  Guru dalam hal ini harus dapat mengikis anggapan bahwa ada kasta dalam keminatan.  Peran seluruh komponen sekolah agar berpikir dan bertindak setara penting sekali agar peserta didik merasa diakui dan diperhitungkan keberadaannya. 

Pada tahap ini tentulah akan banyak tantangan karena tentu saja ada jarak antara keinginan, harapan dan fakta potensi yang dimiliki oleh peserta didik.  Jika itu terjadi maka kita harus kembali pada cara memotivasi yang tepat sehingga peserta didik dapat menginternalisasikan potensi dirinya tanpa hambatan yang berarti.  Memotivasi peserta didik dianggap sukses jika peserta didik berhasil mengobjektivikasikan potensi dirinya.

Keenam adalah pembelajaran berbasis karya.  Sejak dikenali bakat dan minat anak maka guru harus mendorong setiap anak untuk membuat karya.  Setahap demi setahap karya tersebut diwujudkan.  Apabila telah selesai maka siswa didorong untuk membuat karya berikutnya. 

Dalam menyusun karya ini karakteristiknya harus komprehensif.  Anak memulai dari riset tentang kebutuhan, menyusun proposal proyek, mempresentasikan, mewujudkan sampai dengan menyusun laporan akhirnya, memamerkan bahkan memasarkannya sekaligus.  Dengan demikian seluruh mata pelajaran akan terkait antara satu dengan yang lainnya. 

Saat ini semua hal itu sudah dimudahkan dengan berbagai perkembangan dunia maya.  Peserta didik dapat mulai memasarkan produknya melalui media sosial atau media komersial lainnya.  Pembelajaran berbasis karya ini bersifat circle sekaligus. 

Setiap saat peserta didik diajak untuk mengevaluasi dan merefleksikan segala masukan yang ditemukan dalam setiap prosesnya.  Harapannya selain menghasilkan karya yang betul-betul layak, peserta didik secara otomatis memiliki kekuatan mental dalam mengolah masukan sehingga menjadi motivasi yang positif.

Akhirnya, segala hal tersebut di atas hanya akan menjadi angan-angan belaka jika guru yang menjadi figur fasilitator masih mengacu atau belum dapat keluar dari cara-cara lama dalam mengajar.  Selain itu melalui cara-cara ini guru dituntut untuk selalu up date pengetahuan baik melalui bacaan atau pengalaman. 

Cara belajar ini tak dipungkiri menjadi penting karena dengan sendirinya mengikis diskriminasi.  Setiap peserta didik dianggap memiliki bakat yang sama baik dan sama pentingnya dalam berkontribusi terhadap kemajuan perikehidupan.  Pendidikan seperti ini juga sekaligus melatih setiap peserta didik untuk berkolaborasi secara terbuka dan jujur.