Lantas tersepakati sosok al-Amin itulah yang paling layak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Demikianlah, kepercayaan orang-orang jatuh pada beliau yang jiwanya penuh dengan kearifan. Dan peristiwa itu terjadi sewaktu beliau berusia 35 tahun.
Pada saat panggilan kerasulan tiba, Muhammad Saw. dibebani sebuah tanggungjawab yang amat besar dari Allah Swt. Beliau sempat mengalami kecemasan akut, karena tak menduga bakal ditemui langsung oleh Jibril.
Saat itulah Khadijah menghalau rasa cemas beliau. Khadijah menunjukkan rasa kasih dan cinta yang mendalam kepada sang suami. Ia pun begitu dalam menyukai segala bentuk kebajikan dan rasa kemanusiaan yang melekat dalam diri Muhammad Saw.
“Allah tak akan menyia-nyiakan segala budi pekerti yang engkau miliki, suamiku.” ucap Khadijah.
“Sungguh, engkau senang menyambung silaturahmi, suka menolong orang lemah, senantiasa berbuat kebajikan yang tak pernah dilakukan orang lain, menghormati tamu, dan suka menegakkan kebenaran di hadapan kezaliman.”
Sungguh, kesaksian seorang istri yang terekam dalam sirah-sirah, betapa Muhammad Saw. benar-benar berperikemanusiaan.
Sekaligus menepis bahwa beliau sosok bengis yang suka menebar ajaran dengan pedang. Bukankah tak seorang pun yang lebih tahu akan perilaku seorang laki-laki, kecuali istrinya sendiri yang begitu bebas menyelami lubuk hati suaminya!
Khadijah bersaksi betapa permata hatinya itu penuh kasih sayang terhadap kaum papa, kaum lemah, anak-anak yatim, dan para janda. Sang Nabi Saw. selalu memperhatikan apa yang mereka butuhkan. Beliau mengangkat kekhawatiran orang-orang tak berdaya, penuh rasa simpati kepada kaum dhuafa, dan tertindas.
Al-Quran merekam perilaku kemanusiaan yang ditempuh Rasulullah Saw. Karenanya, mengabaikan anak yatim dan tidak memberi makan orang-orang miskin dikatakan sebagai pengingkar agama (baca al-Ma’un: 1-3).
Tersebut pula, dalam surat al-Balad ayat 11–16, setinggi-tingginya derajat manusia adalah yang memelihara anak yatim dan meringankan kaum miskin.
Maka, siapa pun yang tak mau menghargai anak yatim akan tervonis sebagai orang berderajat rendah. Dan bahkan merosotnya suatu bangsa karena mengabaikan dan menelantarkan anak yatim dan kaum miskin (al-Fajr: 17-20).
Oleh karena itu, kita mesti belajar dari kehidupan beliau, Nabi Muhammad Saw. Betapa cita rasa kemanusiaan mengakar dalam fitrah beliau. [Luk]