NAMANYA, menurut banyak sahabatnya, bermula dari dia pernah berguru kepada Rendra. Itu sebabnya nama sang guru ia abadikan menjadi namanya, Untung Surendro. Satu larik puisi si burung merak pun ia sematkan di buhul rumahnya.
Rumah Untung di Jl Kelud Raya, tetanggaan dengan IKIP-N Semarang, hanya berjarak 300-an meter. Di buhul rumahnya tertera nomer rumah, 19, dilingkari larik sajak Rendra itu: Langit di Luar Langit di Badan Bersatu dalam Jiwa.
Rumah sederhana tempat singgah seniman dan mahasiswa, untuk ngobrol atau berguru. Termasuk Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan Ariel Heryanto saat mengantarkan buku Perdebatan Sastra Kontekstual.
Sebagai mahasiswa Seni Rupa IKIP-N 1981 saya pun kerap bertandang, ngobrol, numpang tidur dan makan. Khususnya, lauk ikan mangut, yang menurut ibunda Untung yang baik hati itu kesukaan puteranya.
Untung adalah termasuk penyair pendukung konsep Sastra Kontekstual Arief Budiman | Ariel Heryanto. Puisi-puisi panjangnya — bisa dikatakan termasuk yang memulai genre puisi esai — banyak bertema sosial struktural, dan sebagian lagi bermuatan relijius.
Salah satu puisi relijiusnya yang populer berjudul, “Ibu Tuhan yang Tampak”. Satu puisi bercontent wanita, ibu, dalam konteks ke-Indonesi-an. Ya, baginya ibu adalah Tuhan yang tampak, sebagaimana Tanah Air sebagai ibu kandung bangsa dan negara.
Untung tinggal bersama ibunya, setelah ayahnya tutup usia. Seorang ibu sederhana, yang selalu menyapa ramah setiap seniman yang datang bertandang, lengkap dengan suguhan yang disajikannya. Tampak sang ibu begitu menyayangi putra semata wayangnya.
Pun secara rokhaniah, Untung sangat menjaga ibundanya. Ternyatakan oleh pengalaman spiritual Untung, pada suatu hari. Dia sedang duduk di buhul rumahnya, saat seorang Bapak Tua penjual tangga lewat.
Oleh naluri spiritualnya Untung memanggil, dan tanpa menawar membeli satu tangga. Oleh naluri itu pula ia justru menaruh tangga bambu secara berdiri di dalam kamar. Dia tengah bekerja — kala itu dia bekerja di PLN – ketika malam itu terjadi banjir bandang 1990.
Tangga itulah yang menyelamatkan ibunda Untung yang sudah berusia 70-an tahun, naik ke blandar atap.
Sebagai penyair yang membacakan puisinya, Untung adalah harimau yang mengaum di atas panggung. Termasuk pada satu acara Sastra Pelataran Agoes Dhewa, saya dan Untung ditampilkan dalam satu panggung.
Saya tampil awal, dan seperti biasa cara baca puisi saya biasa-biasa saja. Dan saat Untung tampil kedua, publik penonton dibikin takjub dengan penampilannya yang prima. Termasuk saya, dalam hati berkata, dalam usia enam puluhan Untung mampu membacakan puisi-puisi panjangnya dengan enerji dinamit dan begitu memukau.
Oh ya, Untung juga penggemar bola yang cukup fanatik. Tentulah hari-hari ini dia asyik mengikuti FIFA World. Entah club sepakbola negara mana yang ia dukung. Khususnya di hari ulang tahunnya, di mana Maroko unggul 2-0 melawan Belgia.
Piala Dunia tahun ini memang banyak kejutan. Misalnya lagi, Arab Saudi menang 2-1 melawan Argentina club’ warisan Diego Maradona legend itu. Sayang Indonesia nggak ikut ya, Bro.***