BARISAN.CO – Bullying merupakan tindakan berulang kali yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang menyakiti atau mempermalukan orang lain yang lebih lemah. Termasuk didalamnya menggoda secara verbal dan memanggil dengan nama yang tidak disukai, mendorong dan memukul, penolakan dan pengecualian dari lingkungan sosial.
Bullying kepada anak merupakan fenomena yang serius dan berdampak besar dalam waktu yang lama atau bahkan sepanjang hidup bagi korbannya. Perundungan ini tidak jarang justeru dilakukan oleh anak-anak pula. Anak-anak yang melakukan perundungan biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga menyalahgunakan posisinya.
Beberapa karakteristik yang umumnya menyertai bullying anak antara lain ialah disengaja, terjadi berulang-ulang, dan ketidakseimbangan kekuasaan. Dalam banyak kasus, anak laki-laki mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan mengalami bullying secara psikologis. Tidak jarang, kedua jenis itu terjadi bersamaan atau berhubungan erat.
Anak atau korban yang ditindas dapat mengalami banyak masalah jangka pendek dan jangka panjang, termasuk depresi dan kecemasan, penarikan diri dari pergaulan, penyalahgunaan zat, kesulitan di sekolah atau pekerjaan seperti prestasi rendah dan kehadiran yang buruk, dan bahkan bunuh diri.
Selain itu, anak-anak yang menjadi sasaran intimidasi dapat menjadi korban atau pelaku kekerasan di kemudian hari. Sementara, mereka yang menindas orang lain lebih mungkin terlibat perkelahian dan merusak properti, menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol, memiliki pemidanaan di masa dewasa, dan menyalahgunakan pasangan romantis dan anak-anak mereka.
Antara tahun 2011 hingga 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 37.381 laporan perundungan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan.
Sementara itu, Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada Tahun 2018 mengungkapkan, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Pada tahun yang sama, Indonesia tercatat di posisi ke-5 dari 78 negara dengan murid yang mengalami perundungan paling banyak.
Contoh peristiwa yang perlu dicermati dan dikaji secara mendalam terjadi bulan Juli lalu. Seorang bocah laki-laki di Tasikmalaya menjadi korban perundungan oleh teman-temannya. Dia dipaksa bersetubuh dengan kucing sambil direkam menggunakan ponsel.
Rekaman video itu tersebar. Hingga bocah berusia 11 tahun itu mengalami depresi dan menolak makan dan minum. Anak itu pun meninggal setelah sakit keras.
Dari berbagai kajian, alasan umum seorang anak menjadi perundung karena kurangnya perhatian orang tua di rumah sehingga dia menyerang lain. Kebanyakan, anak-anak mempelajari perilaku ini dari rumah.
Diketahui pula bahwa yang terdampak besar bukan hanya korban. Mereka terutama anak-anak yang melihat atau mengetahui kejadiannya pun terdampak. Begitu pula para pelaku perundung akan terbentuk pribadinya dari peristiwa tersebut.
Journal of Child & Adoscelent Trauma menyampaikan hasil penelitian yang mengungkap bentuk viktimisasi memiliki riak kepada seluruh sekolah. Oleh karena itu, penulis penelitian, Bernice Garnett menyebut, tidak akan ada perubahan jika membatasi pembahasan kepada korban saja. Bukan pada para pelaku, komunitas dan lingkungan sekolah.
Melihat bahaya dan tingginya kasus bullying di tingkat anak sekolah, portal Barisan.co berencana mengadakan diskusi publik mengenai masalah ini. Acara ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Jantu Sukmaningtyas selaku Ibu dari 3 putri dan pembina Rumah Tahfidz Milenial dan ahli pendidikan Suryadi Nomi bertema, “Waspadai Bullying Anak”.