Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Redaksi
×

Muhammad Asad, Sang Mufasir Inklusif

Sebarkan artikel ini

Duka Asad tak berhenti sampai di situ. Sisa manuskrip terjemahan dan komentar atas Shahih Al-Bukhari yang sedianya akan diterbitkan sebagai karya utuh, dijarah dan dibuang ke sungai ketika kerusuhan mendera negeri Pakistan. Duka literasi yang tak terperikan.

Kemudian pada 1952, Asad pun memutuskan untuk tidak tinggal lagi di Pakistan. Ia memilih menjalani hidup sebagai pengelana ke berbagai negeri, ke berbagai kota, bersama Pola Hamida Kazimirska, istrinya yang dinikahi ketika bertugas sebagai duta Pakistan di PBB. Pola Hamida, seorang perempuan muslim Polandia-Amerika, setia mendampingi ke mana kaki Asad melangkah dan singgah, usai Asad bercerai dengan Munira. Mereka berpindah-pindah domisili mulai dari New York, Beirut, Syarjah, Lebanon, Swiss, Spanyol, Portugal, dan kembali lagi ke Spanyol tahun 1987. Syahdan, Asad beserta Pola memungkasi pengembaraan, dan memilih menetap di Malaga, Spanyol, hingga akhir hayat.

Ya, Asad, mufasir kenamaan berhaluan rasional yang berkebangsaan Barat, yang asli keturunan Yahudi. Orang Barat, tapi nyaris 40 tahun menetap di negeri-negeri berkultur Islam. Ia memahami ajaran dan sejarah Islam dengan sangat baik. Memahami pemikiran para pemikir Islam, juga, dengan sangat baik. Dan, bahkan menguasai bahasa Arab dari induknya langsung. Selama fase pengembaraannya itu, ia mengisahkan pengalamannya dan kemudian diterbitkan menjadi The Road to Mecca. Ia pula, menuliskan pandangan-pandangannya tentang prinsip bernegara dalam Islam, dan diterbitkan tahun 1964, The Principles of State and Government in Islam. Terakhir, usai mempublikasikan The Message of the Qurán, Asad, setelah menetap di Spanyol, menerbitkan This Law of Ours and Other Essays.

Dan, saya baru mendapat serta menikmati The Message of the Qur’an. Namun, senapas dengan curahan hati Haidar Bagir dalam kata pengantarnya, “Membaca Al-Quran dengan tafsir Muhammad Asad telah menjadi penawar yang luar biasa bagi dahaga saya selama ini. Bukan hanya dahaga rasional dan intelektual, melainkan juga—bahkan terutama—dahaga spiritual saya.”

Begitu saya menyelami halaman demi halaman The Message of the Qur’an, yang entah akan sampai kapan saya mengkhatamkannya, saya merasa—pinjam ungkapan Goenawan Mohamad dalam kata pengantar buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan—ada yang terselamatkan dalam iman saya. Saya merasa kembali termantapkan oleh pengertian yang lebih inklusif tatkala Muhammad Asad menerjemahkan kata al-islam menjadi “penyerahan-diri [manusia] kepada-Nya”.

Demikian.

Ungaran, 16 Oktober 2020