Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Tiga)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Tiga)

Sebarkan artikel ini

Bagaimana orangtua bersikap ketika mendengar orang lain atau saudara yang kesulitan langsung terpateri di benak anak. Kedua orang tua sedapat mungkin berbincang yang menunjukan simpati atau bahkan berencana memberi bantuan.

Keterlibatan orang tua dalam beberapa kegiatan sosial yang filantropis juga merupakan contoh yang baik. Apalagi ketika ada musibah atau bencana yang cukup besar di daerah sendiri atau tempat lain. Hal itu akan langsung dirasakan anak.

Beruntung suami memang memiliki jiwa altruisme yang tinggi. Tanpa banyak berkata soal kebaikan kepada anak-anak, dia mampu menunjukkan dengan baik. Dia juga terbilang memiliki banyak kawan yang suka bertandang ke rumah, yang berbincang tentang berbagai hal yang bersifat sosial.

Seingat saya ada beberapa kegiatan sosial yang cukup besar yang diinisiasi dan dimotori oleh suami, yang tampaknya amat berkesan bagi anak-anak. Keterlibatan membantu korban terdampak gempa di Bantul pada tahun 2006 dan musibah letusan Merapi pada tahun 2010. Kebetulan, suami sangat dipercaya oleh banyak kawannya untuk menjadi penyalur dana sumbangan.

Berbagai aktivitas di rumah selama berbulan-bulan diwarnai oleh dua kegiatan itu. Mulai dari soal perencanaan hingga pelaksanaan memberi bantuan. Ketika gempa Bantul, anak-anak kadang diajak ke posko bantuan. Ketika musibah letusan Merapi, rumah kami menjadi posko bantuan.

Saya juga sejak dini menanamkan kebiasaan berzakat dan bersedekah pada anak-anak. Selain memberi contoh, anak-anak dibiasakan memotong bagian dari hadiah ketika memenangkan lomba sebagai “zakat” atau sedekah. Kebetulan, semuanya sering mengikuti lomba sain dan memperoleh hadiah uang.

Memberi Kepercayaan dan Menepati Janji

Mengajarkan untuk anak menepati janji juga memerlukan contoh dari orangtua. Oleh karenanya, saya sangat berhati-hati memberi janji pada mereka. Anak-anak biasanya sangat ingat janji orang tua. Mereka tidak mengenal kata batal untuk suatu janji, dan tidak mudah menerima begitu saja penjelasan ketika tak bisa dipenuhi.

Dalam hal janji, orang tua jangan terpaku pada posisi dirinya seperti kesibukan atau urusan lain yang lebih penting. Orang tua sebaiknya mencoba memahami pandangan anak. Seandainya ada janji yang belum bisa dipenuhi disampaikan secara baik dan dijelaskan kemungkinan kapan akan dipenuhinya.

Jika orang tua terbiasa memenuhi janjinya, maka akan lebih mudah membuat anak bersikap serupa. Bahkan ada baiknya orang tua meminta anak berjanji dalam beberapa hal sebagai proses tumbuh kembangnya. Secara bersamaan melatih mereka untuk berupaya keras memenuhi janjinya.

Pengembangan sikap lain yang harus dilakukan orangtua adalah memberi kepercayaan kepada anak. Aya anak ketiga kami sering ditanya teman-teman sekolahnya ketika SMP dan SMA karena nyaris tidak pernah ditelpon ketika sedang berkegiatan tambahan.

Terutama tentang yang banyak temannya ditanya oleh ibunya, seperti: “Pulang jam berapa? Kok belum pulang? Sedang apa di sekolah? Sesudah itu segera pulang!”  Aya bercerita sebagian dari mereka suka beralasan sedang belajar bersama untuk menjelaskan keterlambatan pulang.

 “Sepertinya orangtua mereka kurang percaya,” kata Aya. “Memang sih, belajarnya sebentar, sekitar satu jam lalu mereka pergi main atau berjalan-jalan. Teman-temanku heran, kok ummi tidak pernah bertanya-tanya seperti itu” lanjutnya.

 “Anak-anak ummi sudah bisa diberi kepercayaan untuk berkegiatan ekstrakurikuler di sekolah,” kata saya. Saya menegaskan, “Ummi yakin kalian bisa menjaga dan tidak akan merusak kepercayaan itu.” [rif]