Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Barisan.co – Menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, terbukti dengan Pancasila Indonesia bersatu dan mampu menghadapi berbagai ujian sejarah seperti kemampuan memadamkan pemberontakan PKI, DI/TII, Permesta, Pemberontakan RMS, dan lain-lain. Kelahiran Pancasila bahkan mampu terus menggelorakan semangat pembebasan dari segala bentuk penjajahan, khususnya Kapitalisme dan Imperialisme
“Terbukti dengan Pancasila Indonesia bersatu untuk semua dan setiap warga negara setara. Dengan Pancasila kita selalu satu, berbeda dengan Yogoslavia, Uni Soviet yang terpecah belah, juga Yaman, Irak, Suriah dan lain-lain yang terus dihadapkan pada krisis akibat perang yang tidak kunjung usai. Karena itulah adanya falsafah hidup, falsafah dasar, dan juga alat pemersatu seperti Pancasila selalu kita syukuri,” tutur Hasto (sindonews.com, 5 Juli 2020)
Hasto melanjutkan, dengan ideologi yang menjadi pemersatu tersebut, jelaslah bahwa Pancasila terbukti efektif menjadi dasar dan tujuan kehidupan berbangsa.
“Melalui Pancasila pula kita tegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler, bukan negara komunis, bukan negara teokrasi, bukan liberal, dan bukan fasisme. Indonesia adalah negara Pancasila, suatu konsepsi negara kebangsaan yang berdiri di atas paham individu atau golongan,” ujar dia.
Hasto juga menyatakan, dengan Pancasila pula kita mampu mengatasi berbagai paham yang antiketuhanan dan antikemanusiaan.
“Berbagai bentuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi di Kota Surabaya pada tahun 2018 adalah contoh paham yang buta terhadap nilai ketuhanan dan kemanusiaan,” ujarnya.
Kita tahu bahwa pendapat beliau tak sepenuhnya benar, sebab jika Pancasila dianggap pemersatu, apa tindakan yang diambil pemerintah terhadap gerakan Papua Merdeka (OPM) yang dipersenjatai asing dan makin ngawur menyerang penduduk asli berikut para polisi penjaga kedaulatan negara? Tutup matakah beliau bagaimana Timor timur yang kini menjadi Timor Leste terpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia?
Sila kedua kemanusiaan Yang adil dan beradabpun patut dipertanyakan apakah sudah benar-benar diterapkan? Jika jawabnya sudah, mengapa negara memilih New Normal life di saat kurva penularan pandemi Covid-19 belum mencapai puncaknya bahkan bermunculan cluster-cluster baru? Apakah pertumbuhan ekonomi lebih penting dari nyawa rakyatnya?
Tak sedikit yang meregang nyawa karena terlambat penanganannya, mahalnya alat tes Rapid, langkanya masker, mahalnya APD, sedikitnya waktu istirahat para nakes demikian juga insentif mereka yang dijanjikan pemerintah tak kunjung cair, fullnya kapasitas rumah sakit, mahalnya BBM, naiknya BPJS, ongkos transport umum berikut BBM yang naik. Mengapa pemerintah mengabaikan semua itu dan menjadikan kemanusiaan hanya khayali.
Lebih parah lagi ketika ketika mengatakan bahwa negara ini bukan sekulerisme, lantas siapa yang begitu ngotot ingin mengubah lima sila menjadi Trisila Kemudian menjadi Ekasila, dengan pernyataannya,” Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Bagi kaum Muslim yang demikian itu adalah dosa yang luar biasa. Apakah ini tanda bahwa sekjen PDIP sedang menjadi tameng bagi partainya yang memang akhir-akhir ini terpojok?
Bukti kesekian yang tak terelakkan, Pancasila ternyata belum final, setelah dirumuskan oleh Soekarno nyatanya masih butuh diperas untuk disempurnakan. Bagaimana mungkin hal yang menjadi landasan sekaligus ideologi negara ini adalah sesuatu yang mudah hilang. Lantas menghilangkan sila pertama, terbayang betapa marahnya kaum muslim dan para ulamanya. Seakan menghilangkan sejarah bahwa kaum Muslimah yang terbanyak menyumbang kemerdekaan.