Scroll untuk baca artikel
Blog

Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

Redaksi
×

Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

Sebarkan artikel ini

Jelaslah, dalam filsafat individualism Barat ini, panggung kehidupan itu hakekatnya medan pertarungan antara semua melawan semua.[4] Supaya pertarungan berlangsung adil, maka masing-masing individu itu harus melepaskan kekuasaan yang dimiliki secara alamiah dan menyerahkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang diberi wewenang melakukan tindakan-tindakan pengaturan itu.

Seberapa banyak kekuasaan itu diberikan? Thomas Hobbes menjawab semuanya. Maka terbentuklah kekuasaan mutlak. Namun John Lock menjawab hanya sebagian, karena ada kekuasaan yang melekat pada diri setiap manusia yang bila dilepaskannya maka kemanusiaannya akan hilang. Bagian kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan itu lazim disebut hak azasi manusia (HAM).

Itulah filsafat individual yang dipelopori Rene Descartes dengan adagium terkenalnya cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, dan selanjutnya berkembang hingga Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jaques Rousseau, dan Montesquieu. Pemikiran yang mereka kembangkan lazim disebut Teori Kontrak Sosial yang selama 200-300 tahun terus menerus diolah, dimatangkan dan disempurnakan sehingga menghasilkan praktek demokrasi di sejumlah Negara sebagaimana yang kita kenal belakangan ini.

Bahkan socialism itu sendiri, sebagai antithesa liberalism, juga berangkat dari akar filsafat yang sama, yaitu individualism. Bedanya bila liberalism adalah kebebasan mutlak penggunaan kekuasaan (hak) individu, maka socialism adalah penyerahan mutlak penggunaan kekuasaan individu.

Diantara kebebasan mutlak liberalism dan penyerahan mutlak socialism itu, Soekarno menawarkan “jalan tengah” yang disebutnya Pancasila. Sebagai penggali ideologi Pancasila, Soekarno menyebutnya bersumber dari mutiara yang terpendam selama ratusan tahun di bumi nusantara.

Oleh karenanya, Pancasila tidak bertitik-tolak filsafat individualisme Barat yang memandang manusia diciptakan sebagai individu bebas dan setara, melainkan berangkat dari pemikiran manusia diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya.

Maka, sebagaimana penulis kutip di atas, Soekarno dalam berbagai pidatonya, acap kali mengingatkan, tidaklah tepat menafsirkan atau bahkan mempraktekkan UUD 1945 dengan kaca-mata individualisme sebagaimana terjadi dalam praktek kenegaraan dekade 1950-an.

Toh demikian, dalam buku Negara Paripurna karya Yudi Latif, B Harry Priyono yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Dryakarya, mengulas secara tersirat Pancasila adalah ideologi terbuka, karena disimpulkan melalui bahasa nalar dan diproses melalui diskusi dan perdebatan publik.