Dalam nalar publik, suara mayoritas tidak identik dengan yang terbaik (hlm.429).[5] Bahkan ketololan publik sering muncul dari suara mayoritas. Dalam situasi itu, tepatnya 1 Juni 1945, pandangan Soekarno tentang Pancasila mampu memukau para tokoh pendiri Republik dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung antara 21 April hingga 1 Juni 1945.
Maka Soekarno pun menawarkan konsep demokrasi yang bersumber dari tradisi Musyawarah-Mufakat. Terlepas persoalan setuju atau tidak setuju dengan pandangan ini, konsep Soekarno tentang demokrasi perwakilan dengan mekanisme pengambilan keputusan atas dasar musyawarah-mufakat itu tampak lebih mewakili dinamika peradaban kepulauan nusantara sejak ratusan tahun lalu ketimbang demokrasi one man one vote yang menyetarakan pendapat seorang ulama terkemuka, atau seorang Rektor perguruan tinggi ternama di Indonesia dengan warga pedalaman Papua yang buta baca-tulis.
Konsekuensi dari pandangan ini, perwujudan kedaulatan rakyat dengan sendirinya pula bukan diserahkan kepada individu-individu sebagai sumber legitimasi, melainkan melalui perwakilan yang dalam versi UUD 1945 sebelum amandemen, diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan Presiden sendiri disebut-sebut sebagai pelaksana mandat (mandataris) MPR.
Kini masing-masing individu oleh konstitusi dianggap dilahirkan sebagai seorang manusia bebas dan setara. MPR bukan lagi perwujudan kedaulatan rakyat. Namun, tentu saja, perubahan cara pandang ini memiliki dialektikanya sendiri, antara lain sebagai anthi-thesa praktek otoritarian Soeharto yang dalam pandangan berbagai kalangan diberi peluang oleh kelemahan UUD 1945,[6] dan oleh karena itu pula UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen.
Apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Sebagai jalan tengah, kendati sulit dipungkiri praktek demokrasi yang berlaku sekarang ini, demokrasi one man one vote, bersumber dialektika peradaban Eropa Barat, namun kita tentu saja tidak bisa dengan mudah set-back ke masa lalu.
Apa lagi gerakan seruan Kembali ke UUD 1945 yang asli sebagaimana telah diperjuangkan oleh sejumlah kalangan tidak bergaung secara luas di masyarakat, bahkan apapun gerakan tidak pernah bergaung secara luas di masyarakat, namun spirit para founding fathers untuk menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat (berkuasa penuh menentukan nasib sendiri) adil dan makmur, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, patut dijadikan acuan kembali dalam orientasi kehidupan bernegara sekarang ini.