PASAR, sebagaimana makna lain dari kata pekan, sederhananya ialah pertemuan penjual dengan pembeli. Penjual menyajikan barang-barang kebutuhan, kemudian ditawarkan kepada pembeli. Barang-barang yang hadir di pasar, langsung jadi komoditi, ada untuk dipertukarkan. Pembeli, yang sebab terdesak oleh kebutuhan akan barang, barter kepada penjual dengan uang.
Di sini jelas, pasar jadi wahana orang-orang bertemu, dengan fungsi yang berbeda, sebagai penjual, sebagai pembeli. Pasar, juga merupakan perkumpulan barang untuk dipertukarkan. Pasar pula, kita jadi tergila-gila: mabuk duit. Tanpa uang, proses barter, tak terjadi. Tanpa duit, onggokan benda dan barang-barang, serasa tak bermakna, tiada bernilai.
Wahana bertemu orang-orang, mengandaikan kebersamaan. Dan memang itulah yang terjadi. Pasar merupakan adegan drama kebersamaan. Pasar menuturkan bahwa kesendirian itu mustahil, kebersamaan adalah niscaya. Meskipun kebersamaan semu. Kenapa semu? Semu itu bukan yang sebenarnya, meski tampak asli. Yang terjadi di pasar adalah keadaan yang mendekati kebersamaan. Menilik, kebersamaan merupakan tindakan bertujuan yang sepaham, yang pelakunya banyak.
Sementara kebersamaan di pasar adalah kebersamaan yang egois, individualis, kesunyian, dan kesendirian. Fisik bertemu, saling cakap dan tatap muka, tetapi saling bawa kepentingannya sendiri. Sesama penjual, memang duduk berdampingan, bahkan ada yang saling berhadapan, tetapi di kedalaman relung dirinya saling bersaing. Saling tak rela, sekira ada yang meraih keberuntungan berlebih. Saling jegal, saling sikut, tipu muslihat, seolah hukum wajib di pasar. Penghuni pasar sadar, tahu sama tahu bahwa satu sama lain di antara mereka hanya sedang memainkan peran. Bermain drama. Sehingga, mereka melakukan bukan yang sebenarnya.
Demikian pula pembeli. Dari rumah, sudah membawa misi pribadi untuk dipertaruhkan di pasar. Ia akan mempertaruhkan segala cara teknik negosiasi untuk mendapatkan keinginan dan kebutuhan. Siapa yang lihai dan kuat menawar, itu pemenangnya. Yang pasrah, ikhlas, sudah pasti kalah persaingan. Dus dengan demikian, hukum pasar, tak lebih dari hukum rimba. Yang besar, yang kuat, yang licik, yang lihai, itulah pemenang.
Aturan yang berlaku, kerelaan sama artinya kekalahan. Saya bayangkan sosialisme, pernah mengandaikan sama rata sama rasa, tak berlaku di pasar. Pasar merupakan medan persaingan, bukan jamuan saling meneguh, bukan untuk saling menguatkan.
Dengan demikian, pasar adalah presentasi paham kapitalisme. Persaingan modal benda-benda, saling unjuk diri menawarkan materi. Wujud nyata paham individualisme. Doktrin yang amat menekankan perorangan atau pribadi.
Setiap orang itu unik, tak ada duanya, dan berharga. Setiap orang merupakan pribadi yang otonom, berdiri sendiri. Setiap orang berhak jadi diri sendiri. Untuk itu setiap individu berhak mempergunakan kebebasan dan inisiatifnya, berhak mencapai kepenuhan diri. Pertaruhan keinginan ambisi masing-masing, dan itu sebuah “kebenaran.”
Pasar adalah liberalisme. Artinya ‘bebas’, ‘merdeka’, ‘tak terikat’, dan ‘tak tergantung’. Paham yang menjunjung tinggi martabat pribadi dan kemerdekaan. Mengakui kebaikan dan kemampuan manusia untuk mengembangkan segenap potensi dan hidup. Paham yang justru mengharamkan segala usaha larangan, kekangan, demi kemakmuran orang-perorangan. Kebebasan mengungkapkan keunikan diri tanpa sungkan dan steril dari perasaan akan dipersalahkan. Dan pasar merupakan lahan potensial untuk mengembangkan “hasrat” dan “itikad baik” tersebut.