Syahdan, pengakuan atas keunikan dan kebaikan per individu, tidak lantas mengarah pada etika “semaunya”, karena dorongan untuk berbuat baik tetap dominan melekat pada setiap pribadi. Pengakuan pada “titik beda” tidak berarti lantas meninggalkan “titik temu”. Sehingga pasar menjadi simbol ruang yangmenautkan dua titik tersebut. Bahwa kebersamaan itu pun nyata, bukan ilusi. Pasar menjadi ruang bahwa keunikan sekaligus keistimewaan manusia terakui.
Pada akhirnya, pasar menjadi model ruang wajar manusia. Maka, tak aneh sekira Nabi Muhammad Saw. pun dilukiskan sebagai yang biasa berjalan di pasar-pasar. Tak lain tidak bukan untuk menegaskan bahwa sang nabi itu juga manusia biasa seperti manusia yang lain. Muhammad Asad menjelaskan: kehadiran nabi menjadi sarana ujian bagi persepsi moral dan kecenderungan manusia yang menuntut bukti “supernatural” bahwa ia benar-benar nabi. Itu kenapa disebut dalam surah Al-Furqon ayat 7 dan 20 bahwa Nabi Muhammad Saw itu sebagaimana lumrahnya banyak orang: biasa berinteraksi di pasar.
Pasar, sebagaimana makna lain dari kata pekan, sekali lagi sebagai pertautan “titik beda” sekaligus “titik temu”.
Demikian.