Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Pelatihan Ketajaman dan Kepekaan

Redaksi
×

Pelatihan Ketajaman dan Kepekaan

Sebarkan artikel ini

SAYA percaya banget, perintah puasa itu merupakan wujud cinta kasih Allah kepada hamba-Nya. Ibarat mesin, akan awet jika ada waktu istirahat, ada waktu untuk tidak beroperasi. Pun onderdil indra dalam diri kita, tatkala menjalani puasa, suka tak suka harus beristirahat, dan secara medis malah bagus.

Secara fikih, kita juga merasakan bahwa perintah puasa itu sebetulnya tidak berat. Sama sekali tidak benar bahwa puasa itu menyengsarakan, bahwa puasa itu menyusahkan. Di sana sini tetap ada kompensasi bagi yang benar-benar kesulitan menempuh puasa.

Senada dengan ungkapan Cak Nur, puasa tidak dimaksudkan bahwa semakin menderita dalam melaksanakan semakin berpahala. Buktinya, misalnya soal berbuka, justru akan selaras dengan sunah Nabi Saw, jika kita menyegerakan berbuka, bukan malah melambat-lambatkan. Perintah agama, kita dituntut untuk segera mempercepat berbuka puasa. Itu pun disunahkan dengan makan atau minum yang mengandung zat gula, agar kondisi fisik segera pulih.  

Sebaliknya, saat sahur, kita malah diperintah untuk mengakhirkan bersahur. Hal itu kira-kira supaya tidak memberatkan fisik kita, karena ada bekal asupan gizi yang dikonsumsi. Dan, Nabi saw. berpesan agar kita tidak sampai tidak sahur, “Bersahurlah karena dalam sahur terdapat keberkahan.”

Kemudian, orang yang sakit, wanita yang menyusui, atau habis melahirkan, atau sedang mengandung, orang yang sudah tua, atau orang yang sedang dalam perjalanan, oleh syariat mendapat keringanan tidak menjalankan puasa. Sebagai gantinya, dianjurkan menjalankan puasa di hari yang lain di luar ramadan. Khusus yang lanjut usia atau sakit menahun, menggantinya dengan membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Barangsiapa di antaramu sakit atau dalam perjalanan kemudian ia tidak berpuasa, wajiblah berpuasa pada hari lain sebanyak yang ia tinggalkan. Bagi yang sangat merasa berat melaksanakan puasa, diwajibkan membayar fidyah dengan cara memberi makan kepada orang-orang miskin, ….” (Al-Baqarah: 184).

Meski, mereka yang melakukan perjalanan mendapat keringanan, Al-Quran mengimbau untuk tetap berpuasa. Al-Quran mengingatkan bahwa yag demikian akan lebih baik, akan berdampak positif buat si shoimin

Dampak tersebut, bisa lahiriah, seperti soal kesehatan jasmani, juga—ini yang terpenting—sebuah penyembuhan ruhaniah, spiritual treatment. Bahwa dengan berpuasa, kita akan dapat merasakan kehadiran Allah, setiap saat, di mana saja dan kapan saja. Dengan sendirinya, kita akan tampil penuh percaya diri, optimis menghadapi hidup, dan tabah, dan sabar dengan pelbagai ujian hidup.

Dari kesemuanya itu, satu hal yang teramat sangat penting untuk diungkapkan, sebagaimana ibadah-ibadah mahda yang lain, puasa tak sekadar berdimensi vertikal, tapi juga berdampak sosial. Puasa tak semata membangun kesadaran ketuhanan, tak cuma melahirkan keyakinan akan kehadiran Tuhan yang senantiasa mengiring Langkah kaki ini. Namun, puasa, seperti dalam anjuran membayar fidyah kepada fakir miskin, jelas mensyaratkan keterlibatan kaum muslim terhadap persoalan kemanusiaan yang mengusik nurani.

Bahkan di jelang akhir ramadan, ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah. Sehingga, lagi-lagi puasa memiliki kaitan dengan aksi kemanusiaan. Puasa adalah pelatihan ketajaman dan kepekaan ruhaniah. Pelatihan memahami kesulitan sesama yang lagi dirundung kesenjangan (natural). Pelatihan menghayati derita orang lain. Juga pelatihan menghargai sebutir nasi, seteguk air putih. Pelatihan menelisik betapa lemahnya fisik ini, dan betapa berharganya menghemat energi, betapa bernilai istirahat. 

Editor: Lukni Maulana