Scroll untuk baca artikel
Blog

Pembangunan Kecerdasan Politik Rakyat untuk Indonesia yang Lebih Maju: Refleksi Akhir Tahun 2020

Redaksi
×

Pembangunan Kecerdasan Politik Rakyat untuk Indonesia yang Lebih Maju: Refleksi Akhir Tahun 2020

Sebarkan artikel ini

Juga ada kata-kata senada lain dari Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat yang menyatakan, “it is the first responsibility of every citizen to question authority”, yang terjemahannya, “Adalah tanggung jawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas.”

Dan yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini, adalah pernyataan George Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat, yang menyatakan, “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”, yang terjemahan bebasnya, “Jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, seperti domba-domba yang akan disembelih.”

Tentunya dalam kesempatan yang lain kita bisa bahas di sini batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan, tetapi esensi kebebasan berbicara di sini adalah kritik terhadap pemerintahan. 

Jadi di atas jelas bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya, terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak dalam negara tersebut, hanya berlaku jika sang pemimpin tersebut berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Hal ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan konteks negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini.

Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, maka perlu dibangun sebuah kesadaran di kalangan masyarakat bahwa mereka perlu selalu mengedepankan konsep conditional support kepada para pemimpin yang dipilihnya. Kondisi di mana rakyat memberikan unconditional support kepada para pemimpinnya adalah sebuah hal yang berbahaya, karena hal ini akan bisa menjurus kepada negara otoriter dan keditaktoran, seperti semboyan Raja Prancis dahulu yang menyatakan l’etat c’est moi, negara adalah saya, apapun yang dilakukan, benar atau salah, rakyat harus memberikan dukungan.

Tidak heran jika akhirnya sebuah sistem yang seperti ini pada akhirnya berakhir dengan berdarah-darah di bawah pisau guillotine. Atau ada lagi sebuah konsep yang kita dengar dengan “right or wrong is my country”, sebuah konsep yang juga bisa menimbulkan penyalah gunaan kekuasaan yang luar biasa dari para oknum yang berkuasa.

Memang demokrasi diakui bukanlah sebuah sistem yang ideal, bahkan oleh para pemikir & politisi Barat itu sendiri.

Tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sistem yang bisa menghargai hak asasi manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia & New Zeland dibandingkan dengan sistem-sistem lainnya. Apalagi sebuah sistem monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistem satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya.

Atau juga kita melihat model-model Republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter, model yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model ‘hybrid’ Korea Utara (pemerintahan komunis yang seperti kerajaan, di mana satu keluarga mempunyai kontrol luar biasa terhadap satu negara). Timbulnya Arab Spring di Timur Tengah sebenarnya adalah satu bentuk perlawanan kepada negara-negara dengan sistem otoriter yang korup.

Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun yang ada, di mana satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi pada akhirnya “submit” dan mengikuti sang calon pemenang adalah sebuah pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut, bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair.