Scroll untuk baca artikel
Opini

Pembatasan Sosial Berskala Profetik

Redaksi
×

Pembatasan Sosial Berskala Profetik

Sebarkan artikel ini

Empat belas abad yang lalu, seorang penggembala ternak mengisahkan sesuatu tentang wabah. Kini kisah itu menjadi pedoman banyak orang.

Sang penggembala, yang bernama Muhammad, yang saya junjung setinggi langit itu, berkata: “Kalau kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun bila wabah itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.”

Saya sudah belajar Islam sejak kecil tapi hadist itu baru saya tahu dari internet beberapa hari lalu. Ada dua hal yang saya tangkap. Pertama, ia menegaskan kembali kepada saya, bahwa Nabi Muhammad adalah patron kesehatan sejati. Kedua, persoalan wabah bukanlah hal baru.

Pertama soal kesehatan. Saya bisa bayangkan betapa joroknya masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad datang dan bicara banyak soal kesehatan, terutama yang ada sangkut pautnya dengan kebersihan diri. Apalagi, seluruh pedoman yang dibawa Muhammad sebetulnya lebih mirip ‘respons’ dalam upaya mengubah tatanan lama yang kurang beradab.

Dengan kata lain, apa-apa yang diajarkan Nabi Muhammad, adalah kebalikan dari yang saat itu membudaya di masyarakat. Jadi bila Muhammad menganjurkan para sahabatnya pipis jongkok, maka dapat dibaca secara gampang, bahwa budaya yang berkembang di masyarakat saat itu adalah pipis berdiri (atau bahkan, siapa yang tahu! Bisa jadi malah lebih buruk: pipis berdiri sambil melawan angin).

Pembacaan demikian iseng belaka dan—hehehe!—tidak ada dasar ilmiahnya. Tapi jelas bahwa ajaran kesehatan seperti bersiwak, makan cukup, minum sambil duduk, tidak tidur sore, tidak mabuk, termasuk tidak makan babi, telah secara dinamis mengubah masyarakat Arab. Pada gilirannya, banyak peradaban menerima konsep kesehatan circadian rhythm (irama biologi) ala Nabi Muhammad itu.

Dalam situasi wabah Corona sekarang, saya rasa kita juga perlu berpegang kepada Nabi, terutama kepada hadistnya yang disebut di awal-awal. Bukan karena hadist itu dapat dijadikan sebagai model penyembuhan, melainkan karena ia lebih merupakan protokol sosial yang mampu menghindarkan kita dari penyakit menular.

Naskah-naskah klasik mungkin juga bisa memperkaya pandangan kita. Di China, misalnya, para Konfusianis percaya penyakit dapat muncul dari penyesuaian yang tidak memadai pada aturan dan kebiasaan masyarakat. Dan satu-satunya cara individu terhindar dari penyakit adalah mengubah dirinya menyesuaikan tatanan sosial yang ada.

Kita jelas tahu betul, sehat dan sakit adalah sama-sama hal yang normal. Kadang-kadang sakit tidak terhindarkan dari proses kehidupan yang sedang berlangsung. Akan tetapi, adaptasi total antara laku tubuh kita dengan lingkungan perlu terus diupayakan. Dan untuk mencapainya setiap kita memainkan peran penting, karena kita bertanggung jawab atas perawatan kesehatan masing-masing.

Yang ingin saya katakan adalah, wabah bukanlah hal yang baru. Ia masalah klasik yang dapat dihindari dengan cara yang juga klasik. Maka, apapun namanya, apakah lockdown, social distancing, PSBB, atau apapun, pemisahan menjadi penting supaya terbebas dari wabah.

Selama kita mampu sepaham untuk melakukan segala bentuk keterpisahan dengan benar dan tepat, di situlah momen keselarasan timbul, yang pada gilirannya akan membawa kita pada tujuan bersama yang kita kehendaki. Dan ketika segala sesuatu terasa benar-benar tepat dan segalanya dapat dilakukan dengan tenang, dari situlah didapatkan pengalaman spiritual tertinggi yang mendewasakan kita sebagai bangsa. []