Pemimpin hebat umumnya pandai dalam berkomunikasi, pandai beretorika. Anies Baswedan telah menunjukkannya. Anies Baswedan memiliki kemampuan melahirkan ide atau gagasan yang populis, namun rasional berdasarkan kebutuhan masyarakat.
“Cara menghadapi ekstrimisme itu adalah kemampuan berpikir kritis”. Itu jawaban Anies Baswedan saat ditanya oleh Deddy Corbuzier dalam podcastnya membahas tuduhan atau sebutan para ‘haters’ terhadapnya yang menerima dukungan para kelompok ekstrim.
“Kita dalam melangkah, bekerja membawa ide, membawa gagasan, yang mendukung bermacam macam. Tapi saya tidak bisa mengatur pikiran orang, saya tidak bisa mengatur pikiran bro Deddy misalnya. Yang bisa diatur itu tindakan, negara juga hanya bisa mengatur tindakan, tapi pikiran, perasaan tidak bisa diatur.” Itu juga jawaban Anies Baswedan terkait bagaimana beliau menyikapi tuduhan bahwa sebagian pendukungnya adalah kelompok radikal, kelompok yang dituduh intoleran.
DALAM dialog podcats/youtube Deddy Corbuzier itu penjelasan/jawaban Anies Baswedan menurut saya amat cerdas. Beliau paham dan mahir berdialektika yang positif dan tidak mengcounter dengan reaksi yang negatif. Itu gambaran kualitas pemimpin yang hebat.
Pemimpin yang cerdas, selain mampu menghadirkan gagasan, ide yang cemerlang sebagai solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat, juga mampu berdialektika dengan baik. Mampu berkomunikasi dengan baik, dan juga mampu mengendalikan emosi.
Kita sering menyaksikan polah dan tingkah laku para pemimpin negeri, mulai dari yang level rendah, hingga pemimpin/pejabat negara sangat minim kemampuan berkomunikasi yang baik, bahkan tidak memiliki keterampilan yang fundamental, yaitu kemampuan berdialektika, mengendalikan emosi.
Apalagi jika berhadapan dengan ‘lawan’ politik, massa yang berada di barisan oposisi, hingga media massa sebagai salah satu “pemantau” yang kritis.
Pemimpin hebat umumnya pandai dalam berkomunikasi, pandai beretorika. Anies Baswedan telah menunjukkannya. Kemudian selain dua hal tersebut di atas, karena latar belakang Anies Baswedan adalah seorang akademisi, seorang aktifis pergerakan, Anies Baswedan memiliki kemampuan melahirkan ide atau gagasan yang populis, namun rasional berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya secara lintas kelompok, etnis maupun agama. Hal itulah mengapa beberapa survei politik menunjukkan peningkatan popularitas Anis Baswedan sebagai pemimpin, baik di kalangan akademisi, politisi, aktivis sosial, relawan, baik tua maupun muda.
Gagasan, narasi, kemudian karya
Itu tiga prinsip yang sering Anies Baswedan utarakan di hadapan masyarakat, utamanya para relawan, saat menjelaskan kedudukan seorang pemimpin dan perannya dalam menggerakkan masyarakat menuju tujuan yang ingin dicapai. Mengapa gagasan atau ide begitu penting bagi seorang pemimpin?
Karena seorang ‘leader’ harus memiliki kompetensi melahirkan gagasan atau ide yang visoner sebagai indikator dirinya layak memimpin. Sebagai bukti bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat yang akan dipimpinnya dengan solusi, yang rasional, egaliter, independen dan dapat dicapai secara bersama.
Pemimpin bukan sekedar mengerahkan dengan perintah karena faktor kekuasaan. Karena jika demikian, kondisinya membuka peluang besar terjadinya otoritarianisme, gaya kepemimpinan yang otoriter dan sebagaimana ungkapan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” – kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi secara absolut.
Kata ‘corrupt’ tersebut bisa juga diartikan sebagai tindakan yang mengakibatkan kerusakan. Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh pemimpin yang mengandalkan kekuasaan secara absolut amatlah besar. Selain cabang kerusakannya dalam bentuk tindakan korupsi materi, juga menyebabkan lemahnya sistem demokrasi.