Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – Wacana dampak pandemi Covid-19 kini makin bergeser dari korban terinfeksi dan korban jiwa ke dampak ekonomi. Banyak pihak membincangkan tentang pertumbuhan ekonomi yang minus atau terkontraksi. Pihak Pemerintah telah berupaya menjelaskan proyeksinya dengan beberapa kali perubahan dalam waktu singkat. Menariknya, Pemerintah tampak lebih irit penjelasan tentang dampak pandemi terhadap pengangguran dan ketenagakerjaan pada umumnya.
Seiring dengan mengedepannya wacana pertumbuhan ekonomi yang rendah atau terkontraksi, maka istilah resesi pun masuk ke ranah publik. Sekilas masih banyak yang kurang mengerti tentang arti pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sebagian jurnalis ada yang kurang cermat memberitakan tentang pertumbuhan year on year (y-o-y) dengan quarter to quarter (q-to-q). Apalagi tentang pertumbuhan q-to-q yang telah disesuaikan dari faktor musiman. Sehingga cara mendefinisikan resesi, serta upaya membandingkan antarnegara menjadi tidak akurat.
Bisa dimaklumi jika Pemerintah cenderung memakai definisi yang “lebih longgar” tentang resesi, apalagi krisis. Mungkin bermaksud menenangkan publik dan terus menerus memberi berita baik. Terkesan bersikeras belum mau mengakui telah terjadi resesi saat ini. Masih berkilah menunggu dinamika triwulan III yang masih berlangsung hingga akhir September. Angka pertumbuhan pun baru diumumkan BPS pada bulan Nopember nanti.
Terlepas dari itu, sebagaimana di paragraf pembuka tulisan, dampak pandemi atas pengangguran justeru kurang mendapat penjelasan dari Pemerintah. Padahal, sejak awal telah disadari bahwa dampak utama pandemi secara ekonomi adalah pada kondisi ketenagakerjaan. Baik bagi mereka yang bekerja sebagai buruh dan karyawan, maupun yang berkategori berusaha dan pekerja bebas.
Sebelum pandemi, Pemerintah masih optimis tingkat pengangguran turun pada tahun 2020. Nota Keuangan dan APBN 2020 menargetkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kisaran 4,8 persen-5,0 persen.
Target tersebut sebenarnya terbilang ambisius mengingat penurunan tahun-tahun sebelumnya. Besaran penurunan adalah: 0,06 persen (2019); 0,16 persen (2018); dan 0,11 persen (2017). Penurunan signifikan memang sempat terjadi pada 2016, sebesar 0,57 persen dibanding 2015.
Salah satu sebab lambatnya penurunan TPT adalah karena laju pertumbuhan Angkatan Kerja yang masih cukup tinggi, di kisaran 2 persen selama beberapa tahun terakhir. Penciptaan lapangan kerja baru yang dibutuhkan menjadi lebih banyak untuk menurunkan TPT, yang merupakan ukuran persentase.
Ketika pandemi Covid-19 makin meluas, Pemerintah sadar akan berdampak pada peningkatan jumlah penganggur. Pada pertengahan Mei, Sri Mulyani telah menjelaskan proyeksi pemerintah atas penganggur baru. Akan bertambah 2,92 juta orang jika terjadi skenario berat. Menjadi lebih buruk dalam skenario sangat berat, yaitu sebanyak 5,23 juta orang.
Pada akhir Juli, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan angka pengangguran di Tanah Air akan naik sekitar 3,7 juta pada tahun 2020, akibat pandemi. Ditegaskan lagi bahwa kenaikan itu mencapai 50 persen dari tahun 2019.
Pada pertengahan Agustus, dokumen Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2021 mengakui bahwa pandemi Covid-19 berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Namun, berbagai penanganan yang diambil diharapkan mampu menekan dampak kenaikan TPT, hingga hanya pada kisaran 7,8-8,5 persen.
Jika terealisasi pada titik tengah target, dapat diartikan jumlah penganggur sekitar 11,10 juta orang pada Agustus 2020. Diasumsikan jumlah Angkatan kerja sekitar 136,23 juta orang, naik 2 persen dibanding Agustus 2019. Dari perhitungan ini, jumlah penganggur bertambah 4,05 juta orang. Lebih tinggi dari proyeksi Suharso Monoarfa yang 3,7 juta orang. Sesuai prakiraan Sri Mulyani yang berentang antara 2,92 juta hingga 5,23 juta orang.