Menariknya, Nota Keuangan dan RAPBN 2021 menyampaikan proyeksi lanjutan yang amat optimis. Pemerintah mengklaim akan meneruskan program-program pro-poor dan pro-employment pada tahun 2021, untuk mengembalikan tren penurunan tingkat pengangguran dalam periode lima tahun terakhir sebelum Pandemi.
Sebenarnya cukup mengherankan jika target TPT 2021 pada kisaran 7,7-9,1 persen dianggap turun dari 2020. Pada halaman yang sama (1-29) dari Nota Keuangan, jelas tertera bahwa target 2020 adalah sebesar 7,8-8,5 persen. Batas target optimis (7,7%) memang lebih rendah dari batas optimis TPT 2020 (7,8%). Namun rentang target TPT 2021 tampak terlampau lebar. Jika diambil titik tengah, maka target TPT 2021 sebenarnya 8,4 persen. Sedangkan TPT 2020 hanya sebesar 8,15 persen. Artinya bukan menurun, melainkan meningkat.
Jika dilihat dari jumlah penganggur, sudah pasti perhitungan demikian berarti penambahan orang. Persentase yang sama saja akan berarti jumlah orang yang lebih banyak, karena Angkatan Kerja selalu tumbuh. Apalagi persentasenya sedikit meningkat.
Sejauh yang tertulis pada dokumen Nota Keuangan tadi, Pemerintah dapat ditafsirkan mengakui akan adanya peningkatan jumlah penganggur dan TPT pada 2021. Berdasar asumsi kenaikan Angkatan Kerja sebesar 2 persen, jika skenario RAPBN 2021 terwujud, maka penulis menghitung jumlah penganggur sebesar 11,67 juta orang pada Agustus 2021.
Perhitungan Pemerintah menjadi makin kurang jelas ketika paparan Bappenas pada Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR awal September antara lain menyampaikan koreksi sasaran pembangunan tahun 2020. TPT 2020 diprakirakan di kisaran 8,1-9,2 persen. Jika angka ini yang akhirnya dipakai, maka memang betul ditargetkan turun pada 2021. Namun taget penurunannya sangat kecil jika dilihat dalam jumlah penganggur.
Kita dapat mengambil titik tengah target TPT 2020 yaitu sebesar 8,65 persen. Jumlah penganggur akan mencapai 11,78 juta orang pada Agustus 2020. Atau bertambah sebanyak 4,73 juta orang dibanding Agustus 2019. Tambahan yang melampaui semua prakiraan Pemerintah pada bulan-bulan sebelumnya, kecuali prakiraan terburuk dari Sri Mulyani.
Perlu diingat, TPT hanya salah satu indikator dari soalan ketenagakerjaan Indonesia. Soalan lain yang tak kurang seriusnya adalah upah dan pendapatan. Ada pula soalan status pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar yang mencapai 14,5 juta orang pada Agustus 2019. Padahal mereka ini nyaris serupa saja dengan penganggur terbuka dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis berpandangan bahwa soalan ketenagakerjaan perlu lebih dikedepankan. Dibanding tema menghitung angka pertumbuhan ekonomi, serta tema telah resesi atau belum. Patut diingat pengalaman krisis 1998, pengangguran lebih lambat pulih dibanding pertumbuhan ekonomi.
Penulis juga menganggap bekerja tidak hanya soalan beroleh upah atau pendapatan, melainkan menyangkut harkat kemanusiaan yang perlu dijaga. Asa seluruh rakyat perlu terus dipelihara, antara lain dengan bisa bekerja. Seburuk-buruknya pilihan, mereka bekerja meski dengan imbalan yang sementara belum memadai.
Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri