Scroll untuk baca artikel
Blog

Perembugan Kebudayaan In-kapitalis

Redaksi
×

Perembugan Kebudayaan In-kapitalis

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kita tidak mengalami, kala budaya menjadi laku. Semisal, laku hidup masyarakat Jawa. Seperti yang dilakukan para empu. Juru syair, tembang, lakon. Belum lagi seni batik, kriya, dan kekayaan seni rupa yang kini disebut kerajinan.

Saya pernah bertanya, kepada Richard Curtis. Saat dia membeli kain batik, lalu menyepannya. Kemudian memasangnya sebagai lukisan. Bersama beberapa lukisan abstrak modern. Bagi dia batik adalah lukisan abstrak khas Indonesia, dengan tehnik prima.

Lanjut keris. Siapa bisa memahami, abad berapa moyang kita menemu besi mulia. Para empu, atas laku hidup keempuannya, membuat tosan aji. Mengapa mereka tidak membuat paku, misalnya. Tapi membuat karya bernama keris itu. Pertanyaannya, sebagai karya budaya, lebih tinggi mana nilainya, keris dengan pesawat terbang.

Jawaban anda akan menguji, apakah anda seorang pe-laku budaya atau seorang kapitalis.


Dewasa ini ada tanda-tanda orang memburu karya-karya budaya itu. Mereka seakan mau melacak jejak moyang kita. Walau laku mereka lebih sebagai turis, menikmati karya moyang. Artefak atau heritage, menjadi obyek ‘wisata’ di rumah, kota lama, hingga ke hutan.

‘Keturunan’ juru syair atau lakon melakukan riset — secara touris’m — atas elan lama. Menjadi semacam bunga-bunga dalam karya modern atau post modern mereka. Hasilnya menggembirakan sekaligus menyedihkan. Sebagaimana pernah terjadi, di era orba, pemerintah mewajibkan mendirikan joglo di perkantoran berarsitektur modern.

Wayang kulit menjadi primadona dalam banyak perhelatan. Walau wayang wong, ketoprak, ludruk, dll, masih ditelan waktu. Juga banyak kesenian ‘segara gunung’ — di Pantura, tengah, gunung — yang dikubur raksasa kapitalisme.

Penguburan kebudayaan sejak orba, sejak politik kebudayaan diubah menjadi politik ekonomi kapitalis van ABG (Amrik Baru Gede). Semacam dogma kolonial-feodal yang terus membangun tiang-tiang baru.


Nah, tampaknya ada semacam ketakutan pada diri agen-agen kapitalis, kalau kekuatan budaya kita hidup kembali. Maka, mereka perlu membuat acara rembuk kota.

Rembugan budaya kapitalis van Amrik, yang dipastikan memakan dana milyaran. Mudah saja mereka mengulang cara, untuk menghancurkan budaya dewek. Cukup dengan satu kalimat teori.

Yakni, membedakan antara seni modern dan seni tradisi. Modern post modern mesti dibedakan dengan tradisional kerakyatan. Satu senjata ampuh untuk menghancurkan ideologi politik kebudayaan kita.

Celakanya lagi mereka memang ABG, yang tidak paham apa itu: rembuk, kebudayaan, dan Indonesia