Kenyataannya, semua anak kami bisa berjalan pada usia yang lebih muda dari kebanyakan anak lain. Ira pada usia 9 bulan 10 hari, Adli pada usia 10 bulan, Aya pada usia hampir 12 bulan, dan Akram pada usia 11 bulan.
Sementara itu dalam hal kemampuan berbicara sebenarnya orang tua juga tidak mengajari secara khusus. Paling jauh mengajari mengucapkan beberapa kata yang terbilang sulit. Sebagian besar kosa kata anak ketika dia berbicara merupakan hasil prosesnya dalam mendengar, mengikuti ucapan serta menyerap percakapan orang dewasa di sekitarnya.
Dalam buku psikologi perkembangan anak disebut bahwa anak usia 12-18 bulan pada umumnya mengucapkan kata tunggal. Namun, maksudnya serupa dengan kalimat pada ucapan orang dewasa. Misalnya “beri” sambil mengacu pada satu mainan merupakan kalimat yang dapat berarti “berikan saya mainan itu”.
Anak berusia 2 tahun suka memakai lebih dari satu kata, seolah kalimat pendek atau tidak lengkap. Biasanya terdiri dari satu kata benda dan satu kata kerja. Terkadang terdapat satu kata sifat atau keterangan. Contohnya: pegang boneka, ingin minum, adik cantik, dan lain-lain.
Anak berusia 4 tahun mulai terbiasa memakai kalimat yang hampir lengkap, dan setahun kemudian sering menggunakan kalimat lengkap.
Betapa luar biasa pintarnya anak-anak. Hal ini berlangsung di seluruh dunia pada hampir semua anak. Anak-anak bisa berbicara dalam bahasa ibunya sebelum 5 tahun, tanpa perlakukan atau diajari khusus oleh orang tua atau orang dewasa.
Berdasar pengalaman keluarga, keempat anak saya sudah bisa bicara dengan kalimat yang relatif utuh pada usia 2 tahunan. Sudah mulai mengucapkan kalimat yang terdiri dari Subyek, Predikat, dan Obyek (SPO).
Kalimat yang lebih utuh, yang mengandung unsur keterengan (SPOK) mereka kuasai pada usia sekitar 3 tahun. Bahkan, Ira telah bisa melakukannya pada usia 2 tahun lebih sedikit. Dia memang senang merangkai kalimat.
Sikap dan tindakan orang tua berikutnya sebagai bagian dari jurus memperlakukan anak sebagai anak pintar adalah tidak mengatainya sebagai anak bodoh. Jika hati dan pikiran orang tua memang berisi keyakinan anaknya pintar, maka mesti mencegah adanya ucapan demikian.
Saya dan suami tidak pernah sekalipun mengatakan anak saya bodoh. Suatu ketika, Ira kecil pernah mendengar ibu tetangga mengatai anak lelakinya bodoh. Dia bertanya kepada saya. “Masnya kok bodoh Mi? Yang bodoh itu kan kucing, yaa?” Di rumah saya, semua anak sering dibilang pintar.
Kebetulan kucing kami sebut bodoh karena suatu peristiwa. Kucing itu ketika diberi makan malah mencari-cari di tempat lain. Saya sambil rada jengkel sempat berucap “dasar kucing bodoh”. Rupanya kejadian itu berkesan sekali buat Ira, sehingga menganggap yang bodoh itu kucing. Tentu saja hal ini pun sedikit kurang baik menyebut suatu hewan sebagai bodoh, namun telah telanjur.