Anak berusia 2 tahun suka memakai lebih dari satu kata, seolah kalimat pendek atau tidak lengkap. Biasanya terdiri dari satu kata benda dan satu kata kerja. Terkadang terdapat satu kata sifat atau keterangan. Contohnya: pegang boneka, ingin minum, adik cantik, dan lain-lain.
Anak berusia 4 tahun mulai terbiasa memakai kalimat yang hampir lengkap, dan setahun kemudian sering menggunakan kalimat lengkap.
Betapa luar biasa pintarnya anak-anak. Hal ini berlangsung di seluruh dunia pada hampir semua anak. Anak-anak bisa berbicara dalam bahasa ibunya sebelum 5 tahun, tanpa perlakukan atau diajari khusus oleh orang tua atau orang dewasa.
Berdasar pengalaman keluarga, keempat anak saya sudah bisa bicara dengan kalimat yang relatif utuh pada usia 2 tahunan. Sudah mulai mengucapkan kalimat yang terdiri dari Subyek, Predikat, dan Obyek (SPO).
Kalimat yang lebih utuh, yang mengandung unsur keterengan (SPOK) mereka kuasai pada usia sekitar 3 tahun. Bahkan, Ira telah bisa melakukannya pada usia 2 tahun lebih sedikit. Dia memang senang merangkai kalimat.
Sikap dan tindakan orang tua berikutnya sebagai bagian dari jurus memperlakukan anak sebagai anak pintar adalah tidak mengatainya sebagai anak bodoh. Jika hati dan pikiran orang tua memang berisi keyakinan anaknya pintar, maka mesti mencegah adanya ucapan demikian.
Saya dan suami tidak pernah sekalipun mengatakan anak saya bodoh. Suatu ketika, Ira kecil pernah mendengar ibu tetangga mengatai anak lelakinya bodoh. Dia bertanya kepada saya. “Masnya kok bodoh Mi? Yang bodoh itu kan kucing, yaa?” Di rumah saya, semua anak sering dibilang pintar.
Kebetulan kucing kami sebut bodoh karena suatu peristiwa. Kucing itu ketika diberi makan malah mencari-cari di tempat lain. Saya sambil rada jengkel sempat berucap “dasar kucing bodoh”. Rupanya kejadian itu berkesan sekali buat Ira, sehingga menganggap yang bodoh itu kucing. Tentu saja hal ini pun sedikit kurang baik menyebut suatu hewan sebagai bodoh, namun telah telanjur.
Oleh karenanya, orang tua mesti sangat berhati-hati memakai kata bodoh. Dalam kisah saya tadi, si ibu sampai mengucapkan kata bodoh hanya karena anaknya tidak mengerjakan perintah sesuai yang diinginkannya.
Dapat dibayangkan berapa kali anaknya dikatakan bodoh dalam sehari, seminggu, sebulan, setahun dan sepanjang masa kanak-kanaknya. Bukankah sangat wajar jika anak belum mengerti betul perintah dari ibunya.
Kata itu bisa dipastikan akan membekas pada diri anak. Sangat mungkin dia mendeskripsikan diri sebagai anak yang dinilai orangtuanya sebagai bodoh. Jika suatu saat nilai pelajaran sekolahnya buruk, maka dia merasa hal yang wajar. Anak tidak atau sulit terdorong belajar lebih baik atau berupaya keras agar nilainya menjadi bagus. Dia cenderung menganggap dirinya memang bodoh.
Selama masa kecil anak-anak, saya tidak pernah ragu dan malu memuji mereka sebagai pintar. Bahkan, di depan orang lain. Saya lakukan ketika mereka mengucap kata dengan benar, menghitung dengan benar, membantu saya menaruh barang, ikut menyapu, menjemur, melipat baju-baju kecil dan lain-lain. Dan anak sayapun tidak ragu dan malu menyebut dirinya pintar.
Suatu ketika Adli anak kedua yang masih di kelas 3 SD keluar kelas, mengurung diri dan menangis di kamar mandi sekolah. Hal itu diceritakan oleh kakaknya kepada saya sepulang dari sekolah. Saya tidak langsung menanyakan kepada Adli, dan membiarkannya beristirahat dan tidur. Sore harinya ketika tampak sudah tenang dan rileks, saya ajak berbincang.
”Mengapa Adli tadi menangis di sekolah?” tanya saya. Diapun bercerita telah dikatai bodoh oleh beberapa temannya, karena tidak mau diajak bermain. Kebetulan permainan itu dia belum pernah diketahuinya. Oleh karena tidak pernah dikatai bodoh di rumah, perkataan temannya itu cukup menusuk perasaannya hingga menangis.