Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Perlakukan Anak Sebagai Anak Pintar [Bagian Satu]

Redaksi
×

Perlakukan Anak Sebagai Anak Pintar [Bagian Satu]

Sebarkan artikel ini

Oleh karenanya, orang tua mesti sangat berhati-hati memakai kata bodoh. Dalam kisah saya tadi, si ibu sampai mengucapkan kata bodoh hanya karena anaknya tidak mengerjakan perintah sesuai yang diinginkannya.

Dapat dibayangkan berapa kali anaknya dikatakan bodoh dalam sehari, seminggu, sebulan, setahun dan sepanjang masa kanak-kanaknya. Bukankah sangat wajar jika anak belum mengerti betul perintah dari ibunya.

Kata itu bisa dipastikan akan membekas pada diri anak. Sangat mungkin dia mendeskripsikan diri sebagai anak yang dinilai orangtuanya sebagai bodoh. Jika suatu saat nilai pelajaran sekolahnya buruk, maka dia merasa hal yang wajar. Anak tidak atau sulit terdorong belajar lebih baik atau berupaya keras agar nilainya menjadi bagus. Dia cenderung menganggap dirinya memang bodoh.

Selama masa kecil anak-anak, saya tidak pernah ragu dan malu memuji mereka sebagai pintar. Bahkan, di depan orang lain. Saya lakukan ketika mereka mengucap kata dengan benar, menghitung dengan benar, membantu saya menaruh barang, ikut menyapu, menjemur, melipat baju-baju kecil dan lain-lain. Dan anak sayapun tidak ragu dan malu menyebut dirinya pintar.

Suatu ketika Adli anak kedua yang masih di kelas 3 SD keluar kelas, mengurung diri dan menangis di kamar mandi sekolah. Hal itu diceritakan oleh kakaknya kepada saya sepulang dari sekolah. Saya tidak langsung menanyakan kepada Adli, dan membiarkannya beristirahat dan tidur. Sore harinya ketika tampak sudah tenang dan rileks, saya ajak berbincang.

”Mengapa Adli tadi menangis di sekolah?” tanya saya. Diapun bercerita telah dikatai bodoh oleh beberapa temannya, karena tidak mau diajak bermain. Kebetulan permainan itu dia belum pernah diketahuinya. Oleh karena tidak pernah dikatai bodoh di rumah, perkataan temannya itu cukup menusuk perasaannya hingga menangis.

Saya jelaskan bahwa kata bodoh tidak tepat untuk kejadian itu. “Adli cuma belum tahu, belum mempelajari dan mencobanya,” kata saya. Dia masih terlihat sedih. Saya lanjut bertanya, “Adli bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan guru?” “Bisa,” jawabnya. “Ulangan bisa menjawab tidak?” “Bisa!”  “Kalau diajak main bola, bisa nggak?” “Bisa!” jawabnya lebih bersemangat. “Main sepeda?” “Bisa!”. “Main catur?” “Bisa!” “Nah, artinya Adli itu pintar.”

Saya tunjukkan dia bisa mengerjakan soal, melakukan yang ditugaskan pun serupa permainan. Jadi dia jelas pintar, hanya perlu belajar yang dia belum tahu atau tidak bisa, termasuk jenis permainan dari temannya di sekolah tadi. [dmr]