BARISAN.CO – Dilansir dari data Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa), setiap tahunnya angka perceraian mengalami peningkatan.
Di tahun 2017, setiap hari ada 800 kasus perceraian. Hingga Februari 2020 ada sekitar 1.170 kasus per hari yang setara dengan 49-50 kasus cerai per jam. Dari jumlah tersebut, 70-80% kasus diajukan oleh kaum perempuan.
Pandemi bukan satu-satunya penyebab utama tingginya angka perceraian, Menurut beberapa keterangan, peningkatan kasus di masa pandemi lebih karena teknis yaitu jam kerja yang terbatas sehingga pemohon lebih padat.
Perempuan di Indonesia setelah bercerai bukan hanya menghadapi stigma sosial melainkan juga bersiap untuk menanggung beban finansial. Selain harus mencukupi kebutuhan dirinya, tak jarang dituntut harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi United Nation’s Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang menekankan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang.
Pada pasal 41 UU Perkawinan 1974 berisi mewajibkan suami dan ayah bertanggung jawab atas kesejahteraan dan pendidikan anak-anaknya pasca-perceraian, dan pengadilan berhak memerintahkan suami untuk memberikan tunjangan finansial kepada mantan istri.
Namun masalahnya, aturan tersebut belum berjalan secara menyeluruh. Sistem yang menjamin tunjangan terhadap anak masih hanya sebatas berlaku pada ASN, seperti tercantum dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1977 tentang Penggajian ASN.
Aturan tersebut kurang lebih menetapkan bahwa, ASN yang bercerai perlu menyisihkan kira-kira 1/3 dari gajinya untuk tunjangan anak. Mantan suami yang tidak membayar akan terkena pasal penelantaran anak dengan ancaman hukuman pidanan paling lama penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta).
Sementara itu, bagi non-ASN, aturan tunjangan anak itu belum berjalan cukup mengikat. Pada umumnya yang terjadi ialah banyak hakim tidak mencantumkan perintah pemberian nafkah dalam talak cerai oleh suami.
Itulah mengapa kemudian banyak perempuan di tanah air, yang bercerai dari suaminya yang berstatus non-ASN, akhirnya memutuskan untuk berjuang sendiri memenuhi kebutuhan anaknya. Padahal perempuan dan anak yang diasuhnya memiliki hak yang diatur undang-undang.
Minimnya pemahaman masyarakat soal tanggungjawab pasca perceraian menjadi masalah tersendiri. Sejauh ini, edukasi pun hanya meliputi pra dan setelah menikah, tidak ada pasca perceraian.
Di Indonesia juga belum muncul lembaga yang berkekuatan memaksa mantan suami membayarkan tunjangan hak asuh anak. Padahal tak jarang terjadi, dengan tidak membayarkan tunjangan tersebut, anak bisa terancam kesulitan berkembang karena terbatasnya keuangan sang ibu dalam membiayai kehidupan serta pendidikan anaknya.
Perceraian juga kemungkinan menjadi celah bagi mantan suami untuk melenggang dari tanggung jawab sebagai ayah karena dianggap sudah tidak tinggal satu atap dengan anak. Pemikiran inilah yang membuat kelalaian dalam mengasuh anak semakin besar.
Perceraian pun sering membawa perempuan menjadi korban. Selain dampak psikologis, perempuan menjadi ibu dan pekerja demi kesejahteraan anak mereka. Pemerintah dirasa perlu untuk menegaskan aturan yang jelas bagi mantan suami terhadap anak pasca perceraian. Lebih dari aturan hukum, lembaga pemaksa juga diperlukan.
Terkait itu, sudah mulai bermunculan perusahaan yang mengadopsi aturan soal tunjangan anak. Demikian disampaikan oleh pakar hukum Andi W. Syahputra saat Barisanco memintainya keterangan.
“Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1977 tentang Penggajian PNS yang mengatur tentang tunjangan anak juga banyak diadopsi oleh banyak Peraturan Perusahaan. Bedanya jika pada PP No. 7 lebih ditegaskan sebagai pasal sedangkan dalam ranah perusahaan tunjangan anak dihitung secara kumulatif sebagai tunjangan keluarga,” katanya, Sabtu (1/5/2021).
Masyarakat sebenarnya bisa mengajukan gugatan eksekusi atas tunjangan anak yang tidak dibayarkan ke Pengadilan Negeri (non muslim) atau Pengadilan Agama (muslim). Tapi kenyataannya, banyak perempuan yang enggan berusaha untuk menuntut tunjangan dan pemeliharaan anak karena penegakan hukum sulit diakses.
Biaya yang tidak memadai untuk menyewa pengacara serta lamanya waktu yang harus dijalani membuat banyak perempuan memilih menerima keadaan karena enggan berurusan dengan hukum.
Jika membandingkan dengan Singapura, anak-anak mendapatkan hak perawatan hingga usia 21 tahun setelah orangtuanya bercerai. Bagi yang gagal membayarkan tunjangan anak, perusahaan secara otomatis akan mengurangi sebagian gaji dan mentransfer uang tersebut untuk pemeliharaan.
Selain itu ada penegakan hukum bagi yang mangkir termasuk hukuman penjara. Sistem hukum di Singapura mensyaratkan perceraian disertai dengan perintah pemeliharaan baik itu jumlah, waktu, dan penerima pembayaran.
Beratnya menjadi single parent menjadi permasalahan yang harus dihadapi perempuan Indonesia. Sehingga tak jarang, perempuan memilih bertahan dengan suami yang kasar karena faktor ekonomi.
Pemerintah sekiranya perlu untuk menegaskan soal tunjangan anak agar putusan pengadilan bukan hanya putusan kertas saja. []
Diskusi tentang post ini