Oleh: Miftah Rinaldi Harahap
SILAHKAN sebut di dalam hati para pembaca sekalian, berapa banyak undang–undang yang dihasilkan oleh para stake holder mendapat protes dari rakyat karena dianggap tidak akan mampu untuk menghasilkan keadilan. Dalam tulisan ini saya sebut dua peristiwa yang paling mutakhir sebagai contoh; gelombang protes rakyat untuk membatalkan omnibus law dan revisi undang–undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Melalui dua peristiwa ini saja kita tidak perlu heran, mengapa akronim “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,”UUD (ujung- ujungnya duit),”atau “hukum bisa dibeli” tetap hidup di nadir setiap rakyat Indonesia. Hukum selalu mendapat preseden yang buruk di mata rakyat akibat paraturan perundang–undangan yang jauh dari hakikat hukum itu sendiri.
Padahal hukum merupakan pondasi penting dalam sebuah negara republik. Dalam sebuah negara republik ada beberapa pondasi penting yang mendasarinya diantaranya adalah politik dan hukum. Pemikir awal republik seperti Cicero mengatakan bahwa republik harus dimengerti sebagai sebuah bentuk kerangka kemitraan dari warga yang bersatu dalam sebuah bentuk kehidupan bersama yang diikat oleh hukum.
Pemikir republik lainnya seperti Aristoteles juga bertutur bahwa hidup yang berharga hanya diperoleh apabila dijalani dalam sebuah polis yang ditata berdasarkan hukum. Ia juga menambahkan hukum itu seperti kebijaksanaan tanpa nafsu.
Oleh karena itu manusia akan lebih baik apabila diatur dan dikuasai oleh hukum dibandingkan oleh manusia yang lain ( Robet,2021). Kemudian, dari uraian tersebut kita pun bertanya; apakah sebagai rakyat yang hidup dalam sebuah negara republik kita telah memahami secara paripurna hukum, peraturan, dan politik?
Tulisan ini saya akan menguraikan; apakah yang dimaksud dengan hukum dan peraturan? Dan,apakah perbedaan diantara keduanya.
Hukum
Ketika mendengar kata hukum,hal apakah yang terbersit dikepala anda? Apakah setumpuk peraturan membosankan yang diterbitkan oleh lembaga–lembaga pemerintahan?
Jika hal itu yang ada dipikiran anda maka itu tidak salah karena memang sejauh ini hukum selalu dimaknai sama dengan peraturan. Tetapi apakah benar demikian?
Jika ingin menelisik hakikat hukum maka kita harus merujuk kepada filsafat hukum. Namun, sebelum kita masuk ke dalam topik utama tersebut. Biarlah saya menjelaskan secara sepintas kepada para pembaca sekalian tentang apa yang dimaksud dengan filsafat hukum?
Agar kita mempunyai pijakan yang jelas untuk masuk ke topik utama. Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat tingkah laku yang mencoba untuk membahas mengenai epistemologi hukum,aksiologi hukum, ontologi hukum,dan teleologi hukum. Keempat hal yang ada didalam filsafat hukum ini selalu berkaitan dengan moral dan etika (Erwin,2016).
Hakikat hukum hanya bisa ditilik melalui ontologi hukum. I Dewa Gede Atmaja (dalam Erwin,2016) menyebutkan ontologi hukum merupakan penelitian tentang hakikat dari hukum. Untuk memahami hakikat hukum perlu mengetahui; apa yang dimaksud dengan hakikat?
Menurut Erwin(2016), hakikat adalah sebab terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga berarti eksistensi (keberadaan) dari segala sesuatu yang didalamnya terdapat substansi dan aksidensi didalamnya.Sementara itu Aristoteles (dalam Erwin,2016) mengatakan hakikat mengajarkan kita untuk memisahkan antara substansi (yang hakikat itu) dengan aksidensi (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat, situasi, aktivitas, dan positivitas).
Lantas, ketika ditanya; apa hakikat hukum? Maka jawabannya adalah substansi hukum itu sendiri-dan substansi hukum itu adalah ajaran moral. Sampai pada penjelasan ini, mungkin anda (para pembaca) belum bisa menangkap maksud dari penejelasan saya.