Scroll untuk baca artikel
Blog

Prie GS

Redaksi
×

Prie GS

Sebarkan artikel ini
Mata Budaya (4)

BARISAN.CO – Sedianya tadi malam 11 Februari 2021 kami bertemu. Di ndalem Ponpes Al Zuhri Ketileng Indah Semarang. Dalam acara yang di Zoom, Ganti Luwur Abah Syeh Saiful Anwar. Sebagai pembicara podcast: Gus Lukman, Prie GS, Sujiwo Tejo dan saya. Demikian Maston Lingkar mengundang kami melalui WA.

Karena kondisi kurang memungkinkan, saya tidak bisa hadir. Pagi tadi saya buka YouTube, ternyata Prie GS dan Sujiwo Tejo juga tidak hadir. Kemudian buka FB saya terkejut membaca status Maston: Mas Prie GS, mugi swarga langgeng, kami semua berduka.

Segera saya WA Maston, dan dijawab: Prie GS baru saja meninggal karena serangan jantung. Kembali saya menggumamkan satu larik sajak Chairil Anwar: bukan kematian benar menusuk kalbu…

Seminggu sebelumnya, dalam rapat Juri Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah, tatkala memilih calon juri untuk tiap katagori (puisi, cerpen, novel, teater, sastra Jawa), saya mengusulkan nama Prie GS sebagai juri naskah drama. Sosiawan Leak bersetuju. Tapi Triyanto Triwikromo mengingatkan: Prie GS sudah sangat sibuk.

Demikianlah memang yang juga saya ketahui, jam acara Prie GS selama sepuluh tahun terakhir sudah sangat padat. Bahkan untuk semua bentuk acara: off line, radio, TV, juga on line.

Saya bisa membayangkan energi plus yang mesti disiapkan. Baik fisik, mental-spiritual, dan pikiran, sudah pasti akan terkuras dalam kerja kreatif di bidang kebudayaan. Kita ingat sebelumnya, para penempuh jam terbang yang pada gilirannya sudah saatnya semua mesti ridha: Didi Kempot, Seno Nugroho.

Pun jauh sebelumnya, siapa bisa mengira, mereka mesti menempuh jalan hidup sebagai pejuang kebudayaan. Termasuk Prie GS yang dulu adalah ‘adik kami’ di jagad kesenian Semarang. Seorang adik yang lucu sesuai bidang awal yang dipilihnya sebagai cartoonis.

Setelah itu kami jadi acap ketemu, sebab Prie mulai mengikuti saya menjadi penulis naskah drama untuk Teater Lingkar. Terlebih saat dia kemudian menjadi redaktur budaya di Suara Merdeka (SM). Sebagai penulis lepas tentu saja kami kerap bertemu. Termasuk saat SM menyelenggarakan lomba penulisan (cerpen, novel, serial), Masprie memberi semangat saya: ayo ikut semua, Mas. Alhasil saya menjuarai novel dan serial. Hadiahnya bertepatan untuk membayar biaya kelahiran anak saya pertama di RS Banyumanik.

Hingga belum lama, saya dan Gus Lukni Maulana menghadiri acara budaya rutin di jonglo rumahnya. Bersamaan saya mau merayu dia agar bersedia memberi tausiyah bersama Cak Nun, dalam pernikahan anak pertama saya. Maklum saya mesti mencuri waktunya yang seperti sulit dicari celahnya. Terutama kesibukannya dalam profesi lanjut yang membuatnya sangat sibuk: penulis buku dan motivator.

Pernikahan anak saya pun berlangsung, disutradarai Maston dan suluk Ki Sindhu dan Mbak Dhien. Dinikahkan oleh Gus Lukman, dengan ceramah nasihat perkawinan dari Cak Nun.

Mas Prie hadir terlambat setelah acara usai. Dia tampak kelelahan. Entah berapa acara yang sudah ia tempuh hari itu, sebagai tanggung jawabnya. Tanggung jawab kebudayaan dan kemanusiaan.***