Scroll untuk baca artikel
Blog

Pudarnya Guyub dan Musibah Bencana

Redaksi
×

Pudarnya Guyub dan Musibah Bencana

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Ini kisah kecil saja di lingkungan rumah tempat saya tinggal. Tentang tradisi guyub yang masih bertahan di tengah arus modernisasi perkotaan. Biasanya hari Minggu usai pertemuan RT bulanan diadakan kerja bhakti. Siapa yang hari itu tak ada kegiatan luar kota, umumnya mereka akan turun lapangan.

Tidak peduli posisi dan jabatannya, ketika kerja bhakti mereka akan ambil posisi apa saja yang bisa dikerjakan seperti menyabit rumput, menyapu, buang sampah, dan lain-lain. Sebagian warga ada yang dengan sukarela membawa makanan atau minuman untuk disantap bersama.

Pun ketika ada kabar warga yang meninggal dunia, secara spontan warga lain akan bergerak ke rumah duka dan ambil peran masing-masing. Biasanya ada tetua yang mengatur ritme kerja warga mulai dari menata kursi, cari ambulan, memandikan jenazah, dan lain-lain. Semua berjalan alamiah dan penuh kekeluargaan.

Cerita kecil lainnya yang cukup menarik adalah ketika ada warga yang kena covid. Pihak keluarga yang salah satu anggotanya dinyatakan positif covid berinisatif isolasi mandiri. Area rumahnya ditutup untuk akses keluar masuk. Sementara itu warga lainya ramai-ramai urun bantuan. Ada yang menyumbang uang, beras, makanan. Ada pula yang inisiatif tiap hari memasak untuk keperluan keluarga yang terisolasi. Bahkan ada yang menyumbang pulsa untuk keperluan komunikasi. Hingga batas isolasi berakhir, bantuan tak henti mengalir.

Masih banyak lagi aktivitas guyub yang bisa diceritakan, seperti acara hajatan, tilikan, atau perayaan hari besar nasional. Intinya guyub adalah serangkaian aktivitas dari warga, oleh warga dan untuk warga.

Di tengah kehidupan modern yang individualistik dan transaksional, fenomena guyub menarik untuk ditelaah. Pertama, ada orang yang rela menyediakan diri, waktu, tenaga atau hartanya untuk kepentingan publik. Guyub adalah tenggelamnya diri pada komunal. Ada makna yang tercipta dalam komunitas sehingga muncul kohesivitas sosial. Susah dijelaskan dalam kehidupan modern orang memberi tanpa ada harapan balik secara material.

Kedua, tatanan tradisi punya cara dalam memecahkan masalahnya sendiri tanpa ketergantungan pihak luar.

Ketiga, dalam guyub ada semacam aturan tak tertulis yang sudah menjadi pengertian, kesadaran atau nilai nilai yang ‘hidup’ dan dipatuhi oleh semua warga.

Keempat, guyub adalah fenomena ‘kita’ di mana aku, kamu atau mereka cenderung tanggal. Fenomena tepa slira dan tenggang rasa adalah adalah salah satu jenis kepekaan yang lahir lahir dan ‘hidup’ dalam tradisi keguyuban.

Tapi tradisi guyub ini makin hari makin mengalami pergeseran dan penggusuran. Zaman baru datang dan merontokkan banyak tatanan lama. Guyub adalah salah satu yang coba digilas dan diratakan. Fenomena ‘kita’ dalam guyub diiris dan dirajang-rajang menjadi serpihan-serpihan kecil bernama individu (individualisme). Irisan itu tak hanya merajang kekerabatan antarmanusia tapi juga manusia dan alam hingga harmoni itu makin lenyap.

Pudarnya tradisi guyub, mengikuti di dalamnya adalah makin pudarnya kepekaan, tenggang rasa dan kepedulian antarsesama, bahkan juga dengan alam. Maka begitu alam rusak dan dirusak, tak ada lagi kepedulian masyarakat untuk mencegah atau melakukan kontrol. Dan ketika kerusakan itu sudah demikian jauh dan membawa bencana, manusia kian tak mampu mengatasi dan mengantisipasinya.

Partisipasi dan kebersamaan tidak lagi mampu bergerak secara memadai. Derita manusia makin menumpuk dan ditanggung sendiri. Tak banyak lagi dijumpai ‘kita’ dalam urusan bencana. Dan makin tak terkira besarnya musibah bencana di masa depan, yang tentu sudah didahului sebelumnya bencana sosial berupa tenggelamnya tradisi keguyuban di masyarakat. []