Keberadaan perpustakaan tersebut dengan sendirinya akan menebar aura belajar sepanjang hayat kita di rumah. Meski tidak sampai tuntas mendalami isi satu buku, misalnya, toh minimal dalam keseharian kita terbiasa membaca judul-judul buku yang terkoleksi. Ha…ha…ha….
Suasana pustaka ini setidaknya akan turut megisi ruang kosong di tengah budaya digital yang memang tak bisa ditawar lagi. Suka tak suka, kita dikelilingi oleh banjir informasi media sosial. Ya, antara rela tak rela. Oleh karenanya, buku adalah mitra dialog yang kudu dihadirkan. Memang, bisa saja kita cukup membaca koran, majalah, atau mendengar radio, menonton televisi, atau menyuntuki facebook, instagram, dan media online yang lain, tapi itu hanyalah pengayaan informasi.
Itu hanya untuk menambah pundi-pundi informasi, tetapi tidak bisa meningkatkan pemahaman, karena pemahaman kita setara dengan bacaan, atau tontonan, atau status-status dan kolom di media sosial. Sedangkan tatkala membaca buku—pinjam istilah Charlotte Mason, buku bermutu living book—yang bercita rasa sastrawi, bisa meningkatkan pemahaman, memantapkan visi hidup. Sekaligus kita bisa berelaksasi.
Alhasil, membaca buku, selain mendapatkan informasi dan pemahaman, kita juga akan mendapatkan hiburan. Maka, di tengah kemelut globalisasi yang serba digital ini, kita benar-benar harus menjadi individu terbuka, menjunjung kebebasan berpikir. Individu yang tidak alergi dengan ragam gagasan. Teknisnya, ya, hadirnya sebuah ruang buku di rumah.
Ungaran, 30 Oktober 2020