Scroll untuk baca artikel
Blog

Sapi Tersalip Pedati – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Sapi Tersalip Pedati – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

PENGEKSEKUSI lupa, bahwa Tukang Pedati bisa menjadikan pedati sebagai apa saja. Bisa sebagai salibnya, bisa menjadi perahu untuk mengarungi lautan. Ia tertawa tergelak di atas perahu pedati, bahkan ia bisa mengajak siapa pun untuk ikut serta. Mereka adalah para nelayan, petani atau segenap blandong. Ia pun tak peduli, Pengeksekusi akan terus memburunya sampai ke lautan tanpa batas teritori. Sebab ia mafum, kemana pergi ia akan terus diburu. “Kami terus diburu, hanya karena kami bertanya!” teriaknya dalam hempasan ombak menaik dan melandai. “Burulah aku dengan moncong-moncong senjatamu, aku akan terus mencari dimana pun sapiku!” Terdengar tawa mengguruh, bagai guntur di siang bolong.

Ajaib, Wanita Pelangi tidak berada di atas perahu, tapi mengikuti dengan langkah hablur di atas permukaan air laut. Wajah pelanginya menyemburatkan cahaya melingkari tubuh, dan warna-warni pelangi itu sekaligus busananya. Rambutnya yang dibiarkan lepas tergerai, berkibaran tertiup angin daratan gurun. Langkahnya seperti lenggang perahu berlayar awan putih merendah, bersama sinaran matahari setengah meredup. Dan, astaga, perutnya membusung hamil tua, dengan lingkaran bagai selendang terbuat dari tangkai berduri. Mungkin dimaksudkan sebagai tumbal penjaga janin di rahimnya, dari ancaman Pengeksekusi yang terus menguntit dari kejauhan.

Mendadak satu gelombang air membesar naik dan berhenti bagai deretan gunung membiru. Dan di atas gelombang menggunung itu berdiri sosok membiru menyemlohe wanita. Tukang pedati menghentikan kayuhan perahunya, terpana pandang bagai takjub melihat sosok itu menjelas sebagai seutuhnya wanita berdarah dan berdaging. Pandang senyum wanita bagai ibu itu begitu lembut dan syahdu, dengan kedua tangan merentang bagai mau menyongsongnya. Lebih takjub lagi saat dilihatnya Wanita Pelangi melangkah menghampiri Sang Ibu. Kedua wanita itu berpelukan dan bertangisan sendu, bersama suara ribuan camar mengitari gunungan ombak. Tukang Pedati berdiri takzim, mencoba mengeja tanda-tanda kehidupan dalam angan terpendam.

Terdengar suara melembut Wanita Pelangi, “beliau ibumu…”
Tukang Pedati terduduk menyiku, tertunduk, “salam, Ibu.”
Terdengar suara Sang Ibu bagai suara bisikan, “anakku, anakku…”
Wanita Pelangi membimbing Sang Ibu menghampiri perahu.
Tukang Pedati merunduk, mencium kaki Sang Ibu.
Sang Ibu mengelus rambut gimbal Sang Putera.

Sang Putera pelan-pelan mengangkat muka, dan terheran ia melihat ombak menggunung itu sirna. Dan di atas gelombang melandai ia melihat sapinya, terpancang di tiang-tiang bagang disusui pedet-pedet. Ia menoleh ke sekeliling, berusaha menemukan sosok yang memburu tapi yang tampak hanya keluasan laut. Segera ia meloncat ke atas air, dan ajaib ia tak tenggelam. Kakinya seperti menapaki kaca, dan ia melangkah cergas mendekati bagang. Meloncat dari satu tiang ke tiang lain bagang, melepaskan tali yang menjerat kaki-kaki sapi. Setelah semua terlepas dari ikatan, sapi melenguh dan menguak setinggi langit. Pedet-pedet bergelantungan terus menyusu, seperti anak-anak yang tak peduli bahwa ada perhitungan yang belum rampung.

Ada gumam menggema bagai suara langit mengancamkan mendung.
Dan awan putih memang memendung, pelan-pelan menggelap.
Dalam kegelapan cakrawala, tampak sosok-sosok itu.
Berjalan di hamparan menggulita mendung.
Sosok sapi yang tersalib pedati…..
Dan Sang Putera, di manakah dia?

ADA sosok sebesar gunung di belakang sapi tersalib pedati, ternyata itulah Pengekseskusi dengan moncong-moncong senjata yang membesar pula. Seorang nelayan berkabar, Tukang Pedati dilempar hingga ke perang lanjut. Korban perang terapung seperti ikan-ikan mati, di kelandaian laut menepiskan buih hijau ke hamparan pasir memerah darah. Dikabarkan pula dua orang wanita mencari-cari diantara korban-korban itu, seperti mencari seseorang barangkali masih hidup. Ternyata dua wanita itu adalah ibu dan isteri Tukang Pedati. Mereka terus mencari diantara mayat-mayat yang ternyata jumlahnya tak terhitung, Kepada Nelayan mereka menanyakan seseorang dengan ciri sebagaimana manusia juga, sebagaimana nelayan, petani, atau blandong.