Scroll untuk baca artikel
Blog

Sapi Tersalip Pedati – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Sapi Tersalip Pedati – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Muka Tukang Pedati mewarna merah, napasnya memburu. Mendadak beringas ia mencari-cari, melempar segala yang ada. Pohon-pohon yang sekadar menjadikan hutan sekadar kumpulan pohon-pohon. Batu-batu yang sekadar menjadikan lereng kumpulan batu-batu. Sehingga tebing-tebing itu menjadi gundul, lereng itu menjadi plontos. Tukang Pedati merangkak mirip sapi jantan, muka mendongak ke langit, melenguhkan jerit hati ke sayap-sayap malaikat bagai awan-awan warna-warni. Wanita Pelangi pun bagai sapi betina, berusaha menenangkan dengan kecergasan tenaganya yang pada galibnya lebih trengginas dari pejantan. Lebih kuat karena pada lazimnya wanita musti mengeluarkan darah kotor, mesti hamil dan melahirkan.

“Lepaskan aku!” Tukang Pedati meronta.

“Kenapa musti menyiksa diri?”

“Aku protes pada ketidakadilan!”

“Tidak kau gugat juga, bahwa kita dipertemukan?”

“Mustinya perjumpaan kita tidak seperti ini!”

“Kenapa kau tebas hutan yang perawan dengan dendam?”

“Ini memang kesumatku!”

“Kenapa tidak kau lawan, apakah kamu takut?”

“Aku hanya takut kepada yang memberi rasa takut!”

“Aku pun tidak melihat kejantananmu, tapi seutuhmu…”

“Aku bukan sapi yang terjagal!” Raung.

“Aku pun bukan sapi perahan!” Pekik.

Diam. Angin membisu. Ada bintang jatuh ke keluasan laut, bagai tsunami dari matahari yang sembunyi. Suaranya seperti decah, seperti desah, seperti kesah.

“Aku melihat hatimu yang perawan,” decah Tukang Pedati.

“Aku pun melihat kelakianmu tak tumbuh di keningmu, tak berakar di dadamu, seperti mereka yang hidup dari perut ke bawah. Aku melihat kamu malaikat, bahkan tuhan…”

Tukang Pedati kemudian bangkit, menjadikan dirinya sapi untuk pedatinya. Dan Wanita Pelangi naik ke atas pedati, menjadikan dirinya sais bagi si sapi.

Menuruni bukit terjal hingga lereng melembah tiba-tiba ada bayangan sosok hitam menghadang. Sosok kelam itu pelan-pelan menjelas sebagai Pengeksekusi dengan moncong-moncong senjata. Tukang Pedati berdiri tegak, merentangkan kedua tangan, menatapkan muka. Bukan pasrah, tapi lebih sebagai suratan, atau mungkin isyarat jalan hidup yang mesti ia tempuh. Sesaat Pengeksekusi tertegun, melihat Wanita Pelangi yang diyakini sebagai Perempuan Pendosa dengan senyum mirip bulan sabit. Tubuh meraksasa itu membias antara sosok berdarah dan berdaging dan sosok menghitam dan mengelam. Bias sosok raksasa itu semakin membesar setinggi gunung, menghampiri, kemudian menyandangkan pedati di punggung Tukang Pedati.

PENGEKSEKUSI lupa, bahwa Tukang Pedati bisa menjadikan pedati sebagai apa saja. Bisa sebagai salibnya, bisa menjadi perahu untuk mengarungi lautan. Ia tertawa tergelak di atas perahu pedati, bahkan ia bisa mengajak siapa pun untuk ikut serta. Mereka adalah para nelayan, petani atau segenap blandong. Ia pun tak peduli, Pengeksekusi akan terus memburunya sampai ke lautan tanpa batas teritori. Sebab ia mafum, kemana pergi ia akan terus diburu. “Kami terus diburu, hanya karena kami bertanya!” teriaknya dalam hempasan ombak menaik dan melandai. “Burulah aku dengan moncong-moncong senjatamu, aku akan terus mencari dimana pun sapiku!” Terdengar tawa mengguruh, bagai guntur di siang bolong.