Namun setelah Sultan Trenggono wafat dan menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Prawoto, terjadilah konflik dalam lingkup kerajaan yang dipicu oleh Bupati Jipang Ario Penangsang. Penangsang membakar habis kerajaan ini sehingga tidak tersisa sama sekali. Pusat pemerintahan Demak berpindah ke Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo (Graaf, 1986; 26).
Ario Penangsang akhirnya tewas ditangan Mas Karebet atau Sutawijaya, putra angkat Sultan Hadiwijoyo dari kerajaan Demak. Kelak, dengan hadiah dari Sultan Hadiwijoyo, Sutowijoyo (yang kemudian bergelar Panembahan Senapati alias Sultan Agung) merubah Alas Mentaok – tanah perdikan yang diterimanya sebagai hadiah – menjadi cikalbakal berdirinya kerajaan Mataram.
Dengan demikian Semarang telah berganti-ganti penguasa sejak dari dinasti Syailendra (Mataram Kuno), ke dinasti Raden Patah (Demak), berlanjut kepada Sultan Hadiwijoyo (Pajang) dan Sutawijoyo atau Panembahan Senopati atau Sultan Agung (Mataram).
Serta jatuh dibawah kekuasaan VOC (sejak tahun 1778, karena menjadi pampasan perang atau hadiah yang diberikan Mataram kepada VOC yang membantu memadamkan pemberontakan Trunojoyo).
Kelak, (kabupaten) Semarang ditetapkan sebagai kotapraja (gemeente) pada masa penjajahan Belanda (1906), sebelum akhirnya menjadi ibukota Jawa Tengah pada masa kemerdekaan. Bagaimana proses terbentuknya kota Semarang dan siapa saja yang menjadi Bupati atau Walikota Semarang dari generasi ke generasi berikutnya dapat diikuti pada bab-bab berikut.
Asal mula nama Semarang
Selama menjalankan misinya mengislamkan penduduk Semarang. Made Pandan yang kemudian berjuluk Ki Ageng Pandan Arang banyak dibantu Syeh Jumadil Kubro (atau Syeh Wali Lanang), seorang ulama dari Yaman (Timur Tengah, Mesir), yang lebih dahulu menyebarkan agama Islam di tanah Jawa sejak tahun 1404.
Pada waktu kedatangan Syeh Jumadil Kubro ke Bergota, beliau amat sangat terpukau melihat deretan pohon asam yang rimbun dan teratur rapi. Syeh Wali Lanang bertanya pada Kiageng Pandan Arang apa nama tempat itu, namun Ki Ageng Pandan Arang menjawab bahwa ia belum tahu namanya.
Oleh karena itu beliau meminta Syeh Wali Lanang memberinya nama. Oleh Syeh Wali Lanang maka tempat itu diberinya nama “Semarang” (asem = pohon asem, arang = jarang, berjauhan satu sama lain). ( Budiman, 1978 ; 44). Nama inilah yang selanjutnya dipakai sebagai nama kota Semarang sampai sekarang.
Saat ini antara bukit Bergota dan Mugas terpisah oleh sebuah jalan bernama Jalan Kiai Saleh. Pada salah satu sudut di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota, terdapat komplek pemakaman para Kanjeng Bupati Semarang, antara lain makam Adipati Surohadi Menggolo I – IV, makam Pangeran Puger, dll.