BARISAN.CO – Pandemi Covid-19 telah menghantam perekonomian global, tak terkecuali dunia perbankan Indonesia. Tercatat, selama 2020, penyaluran kredit perbankan terkontraksi sedalam 2,41 persen yoy, dikutip dari OJK. Pun, dengan kredit macet, NPL perbankan per Desember 2020, menurut OJK, menyentuh level 3,06 persen. Meski kondisi itu masih terjaga, tapi terjadi peningkatan dibandingkan periode setahun sebelumnya yang berada di level 2,53 persen.
Kondisi demikian tentunya riskan bagi dunia perbankan, khususnya bagi mayoritas bank-bank bermodal kecil yang berada di BUKU I dan II. Melihat kondisi itu, OJK selaku regulator menyoroti ketahanan dan daya saing industri perbankan nasional ke depan, sehingga munculah POJK No.12/POJK.03/2020 tentang konsolidasi bank umum yang di dalamnya mengatur modal inti minimum bank umum senilai Rp.3 triliun.
Kendati batas waktu pemenuhan modal inti minimum paling lambat 31 Desember 2022, namun tak selang lama setelah itu sejumlah bank melakukan aksi korporasi, seperti akuisisi dan merger. Selama 2021 tak sedikit perbankan yang melakukan langkah tersebut. Misalnya saja, akuisisi bank kecil oleh bank besar, seperti BCA mengakuisisi Bank Royal sejak November 2021 dan menyulapnya menjadi BCA Digital. Ada juga Bank Artos yang diakuisisi oleh Jerry Ng, Bankir Senior untuk ditransformasikan menjadi bank digital bernama Bank Jago.
Sedangkan untuk merger, telah terjadi merger 3 bank syariah BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah menjadi satu Bank Syariah di Indonesia bernama Bank Syariah Indonesia (BSI). Hasil merger itu pun menempatkan BSI pada peringkat ke-7 bank terbesar di Indonesia 2020, dengan kepemilikan aset sebanyak Rp.240 triliun. Berkaca dari hal itu, besar kemungkinan hingga akhir 2022, tren akuisisi dan merger bakal terus terjadi demi memenuhi kebutuhan modal inti minimum.
Alasan Merger dan Akuisisi
Aksi merger dan akuisisi sendiri sejatinya sudah lazim terjadi di industri perbankan. Tercatat, sepanjang 2001 hingga 2020 sudah ada sekitar 25 bank yang dihasilkan dari aksi korporasi tersebut. Pasalnya, baik merger maupun akuisisi dapat menjadi langkah win-win solution bagi pemegang saham juga perusahaan.
Misalnya saja, dengan skema akuisisi, bank kecil yang selama ini menanggung beban cost of fund yang besar untuk menjaga likuiditasnya akan terbantu dengan kucuran dana segar dari investor. Sehingga, dengan itu, selain mereka mampu memenuhi kebutuhan modal inti minimum juga menekan beban cost of fund mereka sekaligus meningkatkan likuiditas.
Pun, sama halnya dengan bank besar sebagai akuisitor juga memperoleh benefit. Pasalnya, bank besar yang tengah melakukan akselerasi transformasi digital lebih efisien dengan mengakuisisi bank kecil.
Setidaknya ada 4 hal yang membuat bank besar lebih memilih mengakuisisi bank kecil kemudian mengubahnya menjadi bank digital. Pertama, bisnis bank kecil sudah berjalan sehingga mereka sudah memiliki data untuk pengembangan.
Kedua, dibanding bank besar jumlah nasabah bank kecil jauh lebih sedikit sehingga proses transisi transformasi menuju bank digital dapat berlangsung lebih cepat. Ketiga, jaringan bisnis belumlah besar karenanya bakal lebih menghemat beban cost operational untuk instalasi serta pengembangan teknologi.
Terakhir, pengembangan di sektor digital dengan mendirikan bank baru disyaratkan harus memiliki modal inti minimum sebesar Rp.10 triliun, sebagaimana diatur dalam POJK No. 12 Tahun 2021. Maka itu, mengakuisisi bank kecil menjadi pilihan untuk kemudian diubah menjadi bank digital lantaran hanya disyaratkan memenuhi modal inti minimum sebesar Rp.3 triliun.