Scroll untuk baca artikel
Blog

Senyapnya RKUHP yang Bakal Disahkan Meski Banyak Tuai Kontroversi

Redaksi
×

Senyapnya RKUHP yang Bakal Disahkan Meski Banyak Tuai Kontroversi

Sebarkan artikel ini

3. Pasal Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa Izin

Menurut Erasmus, Pasal 273 RKUHP ini ada mengatur kegiatan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum dimana pihak penyelenggara harus memohon izin polisi atau pejabat berwenang.

Menurut Erasmus, Pasal 273 RKUHP ini ada mengatur kegiatan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum dimana pihak penyelenggara harus memohon izin polisi atau pejabat berwenang.

Adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an.

Padahal yang perlu diminta dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam berdemonstrasi adalah pemberitahuan, dan bukan izin.

“Pasal 273 RKUHP ini jelas cerminan watak politik perizinan peninggalan kolonial, peninggalan rezim demokrasi terpimpin dan orde baru yang sengaja dipertahankan untuk mengontrol akitivitas rakyatnya sendiri,” terang Erasmus.

4. Hukuman Mati

Kemenkumham menyebut pidana mati tetap dipertahankan pada pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102. Pasal ini bukan pidana pokok, melainkan bersifat khusus.

Selain itu, pidana ini dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan.

Namun, menurut ICJR, Indonesia seharusnya mengikuti peradaban di negara yang lain yang telah maju dengan menghapus pidana tersebut. Terlebih, ketentuan dalam hukuman tersebut juga problematik.

Pasalnya, tidak semua terpidana mati dapat memperoleh masa percobaan. Selain itu, masa tunggu yang lama untuk pidana mati juga termasuk dalam penyiksaan.

5. Penodaan Agama

Orang yang dianggap melakukan penodaan agama dapat dipenjara paling lama lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 304.

Pada pasal ini pemerintah melakukan penyelarasan karena dalam penjelasan masih menggunakan kata ‘penghinaan’.

ICJR memberi catatan bahwa pasal ini berpotensi memicu penyerangan terhadap minoritas agama tertentu. Sebab, delik penodaan agama yang rencananya akan diterapkan tidak berorientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya.

6. Kontrasepsi

Orang yang memperlihatkan, menjual, dan menyebarkan informasi untuk mendapatkan kontrasepsi kepada anak dapat dipidana denda. Ketentuan ini dalam pasal 414.

ICJR menilai keberadaan pasal ini harus ditinjau ulang lantaran bertentangan dengan pengendalian HIV-AIDS.

7. Aborsi

Sama halnya dengan pidana aborsi. Dalam pasal 415, orang yang yang mempertunjukkan dan menawarkan untuk menggugurkan kandungan dapat dipenjara sampai enam bulan.

Sementara untuk ibu yang menggugurkan anak dapat dipenjara sampai empat tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 469. Untuk dokter dan tenaga kesehatan yang mengugurkan dapat dipenjara sampai 15 tahun.

Pasal-pasal ini dinilai akan bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Selain itu, ICJR menilai pemerintah harus membeli pengecualian untuk orang dengan darurat medis dan korban perkosaan,

8. Gelandangan

Kemenkumham menyebut pidana ini tetap ada dan tertuang dalam pasal 431 dan tidak ada perubahan. Penggelandang dianggap mengganggu ketertiban umum dan dapat dijatuhi pidana denda.

ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal itu negara justru seharusnya memelihara fakir miskin dan anak terlantar.