Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Soal Demokrasi dan Rumusan Objektifikasi

Redaksi
×

Soal Demokrasi dan Rumusan Objektifikasi

Sebarkan artikel ini

MAKIN demokratis suatu sistem, makin menguntungkan Islam, yakin Kuntowijoyo. Karena demokrasi, sebetulnya selain sebagai teori kekuasaan juga teori tentang hak-hak rakyat. Dan, perangkat kekuasaan itu sendiri berupa birokrasi, dan kepemimpinan, perangkat hukum, militer.

Birokrasi yang diperlukan oleh umat Islam adalah yang legal-rasional. Birokrasi yang pengangkatannya berdasar kualifikasi teknis yang objektif. Birokrasi, yang selanjutnya, bisa melayani kepentingan umum, bukan kepentingan pengusaha semata.

Kepemimpinan yang dibutuhkan juga yang bersifat legal-rasional, bukan lagi yang kharismatis. Sehingga, terjaga kesadaran dan usaha bahwa Islam tetap menjadi agama yang secara substantif fungsional. Islam tidak terjebak lagi hanya jadi simbol sosial-politik. Tidak lagi menjadi alat legitimasi politik.

Namun, perjalanan demokrasi di negeri ini tidak berjalan mulus. Salah satu kendala karena pembangunan ekonomi kita tidak merata. Ada masyarakat yang hidup pada tingkat pra-agraris, sebagian besar berada dii tingkat agraris, dan hanya sedikit yang bisa menikmati kue kemajuan. Di sana sini masih banyak sisa-sisa feodalisme.

Sehingga, sistem simbol politik masih lebih menguntungkan kekuasaan ketimbang masyarakat. Terbukti, tingkat melek pengetahuan masyarakat masih rendah, budaya lisan (terlebih kini era media sosial) masih merajai.

Solusi yang ditawarkan, oleh Kuntowijoyo, adalah pertama, elite agama—yang memang potensial menjadi vote getter—harus mengambil jarak dengan semua partai politik. Partisipasi elite agama dalam politik bersifat pragmatis, tidak praktis.

Kedua, pada birokrasilah andalan kita, bukan kepemimpinan. Birokrasi ibarat pabrik, maka stabilitas kolektif segenap anak bangsa lebih diutamakan, ketimbang segelintir elite politik dan elite ekonomi.

Ketiga, umat harus tegas merumuskan musuh bersama, yaitu materialisme dan sekularisme. Materialisme sendiri ada dua, yaitu materialisme metafisis dan materialisme etis. Materialisme metafisis adalah aliran filsafat yang mencoba mencari akar asal usul pada materi, contoh nyata Marxisme.

Marxisme berusaha menjawab hubungan kesadaran dan keberadaan, bahwa keberadaan adalah primer, sementara kesadaran sekunder. Keberadaan (materi atau struktur) menentukan kesadaran (superstruktur).

Dunia materi selalu bergerak secara dialektis, artinya ada konflik antara kelas proletariat melawan borjuasi. Artinya, transformasi sejarah berjalan sesuai dengan kondisi material yang konkret. Kondisi sejarah (struktur) ditentukan oleh kondisi ekonomi (determinisme ekonomis).

Berbeda dengan Islam, dalam pandangan Kuntowijoyo, bahwa Tuhanlah (bukan materi) yang menjadi asal usul segala yang ada. Dalam Islam, kesadaran itu tidak ditentukan oleh materi. Struktur tidak selalu menentukan superstruktur.

Justru superstruktur (ide) yang mempengaruhi transformasi sejarah. Islam lahir karena ide monoteis (ketauhidan) yang melawan politeisme (kesyirikan). Dan, perubahan tidak harus melalui konflik.

Kemudian materialisme etis, memandang hubungan antarmanusia ditentukan oleh manusia sendiri. Sebuah antroposentrisme, bukan oleh nilai yang superhuman, Tuhan.

Dalam hal ini bisa kita lihat dalam kapitalisme Barat, di mana sistem sosial didasarkan pada hak-hak individual. Termasuk hak atas kekayaan, bahwa semua kekayaan dimiliki oleh perorangan. Sedangkan dalam Islam, pemiliki yang sesungguhnya adalah Tuhan.

Selanjutnya sekularisme, berasal dari kata secular, seculer, seculere berarti temporal, sebagai gerakan yang mencoba memisahkan urusan luar-dunia dari dunia ini. Dan, ada dua macam sekularisme: sekularisme objektif dan sekularisme subjektif.