Berbeda dengan Islam, dalam pandangan Kuntowijoyo, bahwa Tuhanlah (bukan materi) yang menjadi asal usul segala yang ada. Dalam Islam, kesadaran itu tidak ditentukan oleh materi. Struktur tidak selalu menentukan superstruktur.
Justru superstruktur (ide) yang mempengaruhi transformasi sejarah. Islam lahir karena ide monoteis (ketauhidan) yang melawan politeisme (kesyirikan). Dan, perubahan tidak harus melalui konflik.
Kemudian materialisme etis, memandang hubungan antarmanusia ditentukan oleh manusia sendiri. Sebuah antroposentrisme, bukan oleh nilai yang superhuman, Tuhan.
Dalam hal ini bisa kita lihat dalam kapitalisme Barat, di mana sistem sosial didasarkan pada hak-hak individual. Termasuk hak atas kekayaan, bahwa semua kekayaan dimiliki oleh perorangan. Sedangkan dalam Islam, pemiliki yang sesungguhnya adalah Tuhan.
Selanjutnya sekularisme, berasal dari kata secular, seculer, seculere berarti temporal, sebagai gerakan yang mencoba memisahkan urusan luar-dunia dari dunia ini. Dan, ada dua macam sekularisme: sekularisme objektif dan sekularisme subjektif.
Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural terdapat pemisahan antara agama dengan yang lain. Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan.
Contoh riil sekularisme objektif tampak di Turki yang terang-terangan memisahkan antara negara dan agama. Kemal Ataturk (1881-1938) menghilangkan pengaruh ulama dan pemimpin tarekat pada negara. Sementara selarisme subjektif bisa terjadi pada siapa saja.
Kuntowijoyo mengilustrasikan bagaimana sekularisasi terjadi pada seorang ilmuwan. Karena memang ilmu yang dari asalnya semata-mata rasional dan objektif, maka pengalaman keagamaan sehari-hari berpotensi tidak menunjang kegiatan berilmu.
Sebagai misal, dalam laboratorium fisika, hasil yang diperoleh oleh peneliti muslim dengan peneliti yang tak beragama, sama saja. Hasil objektifnya sama.
Oleh karenanya, rumusan objektifikasi menjadi relevan untuk mengatasi persoalan sekularisme subjektif (juga sekularisme objektif). Bahwa nilai keagamaan itu tidak pada hasil, tidak di ujung, tapi pada proses, pada niat. Peneliti sekular mengadakan subjektifikasi terhadap pengalamannya, sementara peneliti muslim mengadakan internalisasi.
Begitu.