Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Spirit Berkeluarga: Bahagia Itu Mitos?

Redaksi
×

Spirit Berkeluarga: Bahagia Itu Mitos?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Galau berat. Awal-awal begitu. Bagaimana tidak? Seorang kawan bilang, “Bahagia itu mitos!” Sontak kening saya mengerut Saya tak sepenuhnya setuju, tapi juga tak menolak. Ya, pokoknya begitulah.

(Kapan waktu saya mengikuti kajian hikmah. Di situ sang mursyid mewejang mustamik agar bisa melatih diri selalu berbahagia dengan kebaikan. “Dengan begitu, kita akan meninggalkan maksiat!” tandasnya.

“Kita selalu mengingat Tuhan, berharap dosa diampuni, itu jauh lebih nikmat ketimbang berbuat nista.” Sehingga, pesannya, “bahagia itu wajib, dan mesti dilatih”)

Dan ternyata, o, ternyata, dari hasil survei, sebagaimana ungkap Ellen, direktur EIN Institute, fakta bahwa kebahagiaan tidak sama dengan kualitas hidup.

Jadi kebahagiaan di sini mesti dipahami sebagai kendaraan untuk menggapai kualitas kehadiran, bukan demi bahagia itu sendiri. (Haiyah! Lha kok tambah mengerut dahi saya)

Namun, individualisme telah mengepung kita. Memikirkan diri sendiri itulah yang wajar. Menonjolkan diri itu kemuliaan. Sementara memikir kesulitan orang lain, dan bertumbuh tanpa menonjolkan diri itu abnormal. Padahal what we were born for!

Atas ungkapan “untuk apa kita dihadirkan”, mau tidak mau menuntun saya mencuplik ayat: “Aku hendak menjadikan (manusia) khalifah di bumi.” (Al-Baqarah: 30) Saya memahami, misi kita adalah “wakil Tuhan” di muka bumi.

Artinya, yang wajib diutamakan adalah bagamana kita bisa aktual yang bernilai transformatif. Mengembangkan orang lain di dalam mengenal peta diri dan Tuhannya. That’s what you are born for. Mengembangkan pihak lain dengan cara menggarap diri semaksimal mungkin.

Siapa itu pihak lain? Tak lain adalah istri/suami dan anak. Ya, mulai dari keluarga. Begitulah. Maka, menikah dan punya anak adalah tantangan riil untuk mendewasakan diri. Sarana menikmati penderitaan.

Karena masalah demi masalah senantiasa mengiring, dan kita tak bisa mengelak. Suka tidak suka kita harus menghadapi, tidak bisa lari dari masalah.

Sehingga, pikiran kita pun (terpaksa) aktif. Dan diri ini bertumbuh. Makin aktif pikiran, kian pesat progres kita. Sontak saya ingat, suatu waktu Pak Muh berseloroh, “Setiap berhadapan dengan pilihan, pilihlah yang lebih susah!”

Mengarungi kehidupan bersama pasangan dan anak adalah meniti penderitaan demi penderitaan, dan dari hari ke hari. Pantaslah, berkeluarga merupakan momentum emas untuk mengasah diri, melesat ke ketinggian sebagai pribadi agung.

Hal penting lagi, kesempatan mendewasakan diri ini merupakan kesempatan yang tak bisa ditunda-tunda. Kita berkejaran dengan waktu, dengan tumbuh-kembang anak.

Sekira tak lekas mengenali peta hidup, tidak cepat-cepat merombak cara lama, kita akan kehilangan kendali diri. Dan menyesal di kemudian hari.

Namun, sungguh Tuhan Mahabaik. Karena sebetulnya kita bisa melewatinya. Kita bisa memeriksa dan kemudian waspada. Pertama, kehadiran sensasi fisik, seperti: mulut kering, jantung berdebar, kepala pening, adalah tanda bahwa kesehatan jiwa kita drop. Atau kedua, emosi, misal: tiba-tiba marah, kesal, gelisah, sedih, panik, dan seterusnya.

Kemudian yang ketiga, pikiran. Tuhan juga acap mengirim sinyal tatkala kita begitu saja larut membayangkan bahaya atau kerugian sesuatu. Kita merutuki diri sendiri atau orang lain.

Terapinya, periksa: is it true dan is there an alternative view. Dan terakhir, keempat, impuls. Sebuah gerak hati yang tiba-tiba, seperti: mengeluh, mengkritik, berbicara dengan nada permusuhan, mengurung diri, apatis, dan banyak lagi yang lain.

Lagi-lagi, menghadapi isyarat ini juga tak gampang. Kita terbiasa menghindari masalah dengan memaki-maki keadaan, mengutuk setiap orang, dan mengandai diri kita tak punya andil dalam mencipta keadaan.