Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Spirit Berkeluarga: Bahagia Itu Mitos?

Redaksi
×

Spirit Berkeluarga: Bahagia Itu Mitos?

Sebarkan artikel ini

Sekira tak lekas mengenali peta hidup, tidak cepat-cepat merombak cara lama, kita akan kehilangan kendali diri. Dan menyesal di kemudian hari.

Namun, sungguh Tuhan Mahabaik. Karena sebetulnya kita bisa melewatinya. Kita bisa memeriksa dan kemudian waspada. Pertama, kehadiran sensasi fisik, seperti: mulut kering, jantung berdebar, kepala pening, adalah tanda bahwa kesehatan jiwa kita drop. Atau kedua, emosi, misal: tiba-tiba marah, kesal, gelisah, sedih, panik, dan seterusnya.

Kemudian yang ketiga, pikiran. Tuhan juga acap mengirim sinyal tatkala kita begitu saja larut membayangkan bahaya atau kerugian sesuatu. Kita merutuki diri sendiri atau orang lain.

Terapinya, periksa: is it true dan is there an alternative view. Dan terakhir, keempat, impuls. Sebuah gerak hati yang tiba-tiba, seperti: mengeluh, mengkritik, berbicara dengan nada permusuhan, mengurung diri, apatis, dan banyak lagi yang lain.

Lagi-lagi, menghadapi isyarat ini juga tak gampang. Kita terbiasa menghindari masalah dengan memaki-maki keadaan, mengutuk setiap orang, dan mengandai diri kita tak punya andil dalam mencipta keadaan.

Ya, yang terakhir itu, menurut saya, yang teramat susah (meski yang lain juga lho). Kita terjerat oleh entropi, berubah menjadi lebih buruk kualitasnya. Ditambah, kita mudah berputus asa, dan hobi lari dari masalah.

Saya terbayang kisah Nabi Yunus yang tertelan ikan paus, karena meninggalkan penduduk Ninawa. Singkat cerita, Nabi Yunus sadar dan mengatasi masalahnya dengan pasrah pada Tuhan dan mengakui kesalahan dirinya, lari dari tanggung jawab.

Maka, kembali pada pemaham misi hidup bahwa seyogianya kita terpanggil oleh kepedulian terhadap nasib orang lain. Dan “orang lain” terdekat itu tiada lain tidak bukan adalah keluarga bahagia. Bilamana kita bersikap ramah dan penuh kasih pada pasangan, serta anak.

Kita bersikap waspada untuk tidak ringan tangan dan gampang membentak. Tidak demen menyusutkan nyali anak. Pendek kata, jangan sungkan untuk selalu bertanya, “Kebajikan apa yang bisa saya sumbangkan untukmu, Rahma? Perbuatan baik apa yang bisa saya lakukan buat kalian, Nak?”