Barisan.co – Resep makanan tidak disusun dalam ruang hampa. Sejarah menunjukkan, makanan memiliki jejak arkeologis yang bisa dibedah asal-muasalnya. Begitupun tentang kegemaran kita, manusia, terhadap pusparagam kuliner. Ada semacam biografi panjang di balik itu.
Secara menarik soal kuliner daging, cukup banyak resep yang menyertakan tulang (bone in) dalam penyajiannya. Krengsengan iga, tongseng tetelan, sup sumsum tulang, hanyalah beberapa. Selebihnya adalah pertanyaan: kenapa manusia terobsesi mengisap daging yang tersisa-menempel di sekitar tulang?
Yuval Noah Harari secara khusus menyinggung itu dalam bukunya berjudul Sapiens. Kisah dimulai dari sekitar 2 juta tahun silam, di mana manusia (homo) masih menjadi makhluk yang lemah dan marginal. Homo selalu diliputi ketakutan akan predator, tapi berbagi sumber makanan yang sama dengan mereka.
Pada saat itu, homo bukanlah pemuncak rantai makanan. Ia lebih memilih menunggu dengan sabar kawanan singa melahap seekor jerapah, sambil berharap sang predator puncak rantai itu menyisakan makanan untuknya.
Namun ternyata homo harus menunggu lebih lama. Setelah singa selesai dengan urusannya, masih ada kawanan hyena dan anjing hutan, dan homo tidak berani mengusik kawanan ini. Baru setelah makanan tersisa tinggal tulang-belulang, homo dengan hati-hati mendekat sambil tengok kanan-kiri. Mereka mencari lapisan yang masih tersisa di sela-sela tulang, terutama sumsum di dalam tulang.
Soal sumsum tulang, penjelasan lebih lengkap dapat kita temui dalam publikasi Science Advances edisi 9 Oktober 2019. Dapat disimpulkan bahwa, sampai sekitar 200.000-420.000 tahun lalu, homo semakin gandrung mengisap sumsum tulang hewan dengan cara disimpan beberapa hari sebelum disantap.
Homo sendiri cukup lama menjadi medioker dalam rantai makanan. Seperti dicatat Harari (13:2017): “Posisi genus homo dalam rantai makanan, sampai masa yang cukup baru, kokoh berada di tengah … dan baru dalam seratus ribu tahun terakhir—dengan bangkitnya homo sapiens—manusia melompat ke puncak rantai makanan.”
Cerita setelahnya adalah tentang kejayaan manusia dalam urusan memakan hampir semua hal. Sampai kemudian setelah api berhasil didomestifikasi, manusia tampil sebagai ‘ras juru masak’.
Menuliskan Resep
Selain menjadi juru masak, usaha untuk mencatatkan makanan secara tertulis juga dilakukan manusia. Di Jawa, ditemukan sejumlah prasasti yang memuat deskrispsi tentang jenis-jenis makanan dan minuman. Ada Prasasti Taji (901 M), Prasasti Panggumulan (902 M), Prasasti Mantyasih I (907 M), Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Watukura I (902 M), serta Prasasti Linggasuntan (929 M).
Dikutip dari makalah Prof. Dr. Timbul Haryono, dosen senior Jurusan Arkeologi UGM, prasasti-prasasti itu memberi banyak informasi mengenai beberapa makanan yang umum dikonsumsi pada saat itu.
Prasasti Taji, semisal, menyebut ‘wras’ sebagai istilah kuno dari beras. Disebut pula hewan-hewan seperti ‘hadangan’ yang merujuk kerbau, serta ’hayam’ untuk ayam. Ada pula disebutkan ‘deng asin’ untuk dendeng asin dan ‘hantiga’ untuk telur. Beberapa jenis ikan juga disertakan, mulai dari yang namanya umum seperti ‘gurameh’ yang berarti gurami, sampai yang asing seperti ‘kadiwas’ dan ‘bilunglung’.
Dalam Prasasti Mantyasih I disebut tentang ‘wok’ yang berarti celeng atau babi hutan, ‘wdus’ yang berarti kambing, ‘hurang’ yang berarti udang, serta telur yang kali ini disebut ‘hantrini’.
Banyak di antara bahan makanan yang tertera dalam prasasti-prasasti itu masih bertahan sampai sekarang. Dan pada beberapa dasawarsa belakangan, barangkali hanya kuliner hayam yang cenderung popular. Sensasi kremes-kremes yang datang dari eksploitasi terhadap kulit ayam, telah menjadi fenomena yang memikat banyak manusia modern.