Barisan.co – Salah satu karya sastra paling digemari di media sosial khususnya Facebook adalah puisi. Banyak pemuisi atau penyair lahir dari rahim media sosial facebook. Menjadi wajar karena media cetak mulai tergerus arus teknologi media digital atau media online.
Puisi merupakan karya sastra yang memiliki makna dan keindahan bahasa. Sastrawan besar Indonesia lahir melalui karya-karya puisi yang memiliki makna dan keindahan. Sebut saja Ws Rendra, Sapardi Djoko Darmono, Chairil Anwar, Widji Thukul, dan lain sebagainya. Tentu para sastrawan tersebut memiliki gaya bahasanya sendiri dan pengalamannya yang dilaluinya.
Seiring perkembangan media sosial facebook, banyak para penyair lahir. Mulai dari kegiatan-kegiatan panggung, menulis antologi bersama, dan grup-grup facebook yang tersebar. Lantas apakah sekadar status atau memang benar-benar puisi.
Budayawan Eko Tunas menyatakan, saya suka puisi yang biasa. Biasa dalam pengertian sudah tidak butuh kritik atau pujian. Puisi yang secara bentuk dan isi seimbang.
“Kalau ditanya apakah bentuk ada hubungannya dengan estetika bahasa (majas atau diksi), maka itu akan kembali ke soal teknis yang berujung pada kritik atau pujian. Padahal puisi yang biasa adalah yang bukan direka karena bahasa, tapi ditulis lantaran pengalaman,” tuturnya
“Itu sebabnya saya suka puisi yang menyimpan pengalaman dahsyat — bedakan dengan bahasanya yang luarbiasa. Lihatlah, puisi seperti punya Chairil Anwar, yang teks-teksnya terkenal itu. Walau sampai hari ini kritikus lebih banyak membicarakan bahasanya. Antaralain bahasa yang sudah keluar dari teknis persajakan model sajak sebelum angkatan Chairil,” ucap Eko Sahabat Cak Nun Atau Emha Ainun Najib pendiri Jamaah Maiyah.
Eko Tunas menambahkan, kalau kita bertanya mengapa banyak teks dari puisi Chairil terkenal. Tak lain karena sebagaimana sifat teks, selalu lahir dari pergulatan hidup manusia di belakangnya. Satu proses pengalaman yang melahirkan satu jatidiri ungkapan bahasanya yang tersendiri. Ingat saja satu teks dari puisi Chairi: mampus kau dikoyak-koyak sepi. Atau bahkan teks dari puisi pertama yang ditulis Chairil: bukan kematian benar menusuk kalbu. Sampai teksnya yang paling terkenal: aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.
Hal ini menunjukkan bahwa puisi terlebih merupakan lahir dari pengalaman. Bukan mengindah-indahkan bahasa. Teks akan mengikuti pergulatan penyair atau sastrawan dari pengalamananya, dan bahkan pengalaman yang paling pait adalah puisi terindah.
Soal pengalaman penyair, Martin Suryajaya menuliskan sosok penyair dari César Vallejo dari Peru. Vallejo penyair dari Amerika Latin yang dipertemukan oleh rentetan pengalaman dengan intensitas. Ia terbuang dari kampung halaman, menggelandang di Eropa, menulis puisi dengan rasa lapar menekan di ulu hati.
Sehingga César Vallejo mendapatkan julukan penyair lapar. Kelaparan dan kemiskinan menyertai Vallejo kemanapun ia melangkah di Eropa.
Penulis: Lukni