Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Tidak Mahjura

Redaksi
×

Tidak Mahjura

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Walau tidak tercatat sebagai ahli tafsir, tapi keseluruhan Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam dirujuk pada Al-Quran. Malahan gagasan filosofis Muhammad Iqbal ini bisa dibilang sebagai turunan Al Quran. Karenanya, tak syak telah menuai kritik, selain tentunya pujian tiada bertara.

Muhammad Iqbal seolah hendak menjawab keluhan Nabi Saw., “Tuhanku, kaumku telah menganggap Al-Quran sebagai yang harus ditinggalkan (mahjura).” (Al-Furqan: 30).

Dr. Djohan Effendi mengungkap tiga makna istilah “mahjura”. Yaitu, pertama meninggalkan; kedua, mengakui tapi tidak melaksanakan; dan ketiga, berbicara tanpa mengerti apa yang diucapkan, seperti orang yang mengigau tanpa sadar tatkala tidur.

Iqbal tampak ingin menepis kegundahan Nabi, bahwa selaku umatnya, ia serius masuk ke jantung kitab suci. Mulai dari prakatanya, Iqbal langsung menegaskan bahwa Al-Quran adalah kitab yang lebih mengutamakan amal ketimbang gagasan.

Iqbal melihat kebesaran peradaban Islam hadir pada zaman Rasul Saw, dan generasi Khulafaur Rasyidin. Namun, setelahnya, umat terbuai oleh pesona pemikiran Yunani.

“Filsafat Yunani telah menjadi daya kultural yang sangat besar dalam sejarah Islam. Kajian yang saksama terhadap Al-Quran dan berbagai mazhab teologi skolastik yang lahir dari inspirasi pemikiran Yunani memperluas pandangan para pemikir Muslim, tetapi secara keseluruhan ia justru mengaburkan pandangan mereka ihwal Al-Quran.”

Seperti Socrates dan Plato yang mengalihkan proyek filsafatanya pada alam manusia, mengabaikan alam tumbuh-tumbuhan, serangga, dan bintang-gemintang, oleh Iqbal dinilai tidak memadai sebagai rujukan untuk menggali kedalaman Al-Quran. Kedua tokoh filsuf itu terlampau memandang rendah pencerapan indrawi, yang menganggap hanya akan menghasilkan pengetahuan tidak sebenarnya.

Al-Quran justru memandang pendengaran dan penglihatan sebagai anugerah yang paling berharga. Al-Quran memandang lebah yang sederhana itu sebagai salah satu penerima wahyu Ilahi.

Al-Quran selalu menyeru umat Islam untuk mengamati perubahan angin, pergantian siang dan malam, awan, langit berbintang, serta planet-planet yang bergerak melintas ruang angkasa tak bertepi.

Iqbal menangkap keluhan Nabi Saw. tersebut maujud pada diri para sarjana Muslim awal, yang membaca Al-Quran dengan cahaya pemikiran Yunani.

Padahal, “semangat Al-Quran pada dasarnya anti-klasik.” Ungakapan “anti-klasik” ini bisa dimengerti sebagai “anti-pemikiran spkulasi Yunani”.

Contoh paling terang ditunjukkan Ibnu Rusyd. Dia penentang utama seruan Al-Ghazali soal kerancuan filsafat Yunani. Dan, Iqbal menilai Ibnu Rusyd telah gagal melihat gagasan Al-Quran yang bernas itu, sebab Ibnu Rusyd memilih untuk membela filsafat Yunani dari serangan Al-Ghazali. Ibnu Rusyd memilih untuk lebih menumbuhkan filsafat Yunani (via gagasan Aristoteles), yang justru melemahkan dan mengaburkan pandangan manusia mengenai diri, Tuhan, dan alam.

Bagi Iqbal, tujuan pokok Al-Quran adalah membangkitkan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia terkait berbagai relasinya dengan Tuhan dan alam semesta. Bahwa alam semesta yang penuh misteri ini, juga peredaran zaman yang diam-diam menjelma di depan kita, dipandang Al-Quran sebagai tanda-tanda yang paling agung atas keberadaan Tuhan.

Sebab, betapa manusia, sebagai masterpiece-Nya, juga akhirnya dapat merosot ke titik terendah, “Kami sungguh telah menciptakan manusia dalam sosok yang paling sempurna, kemudian Kami mengembalikannya dalam posisi yang paling rendah, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh.”