Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Tidak Sejahat Firaun, Kisah Khalifah Al-Makmun dengan Ulama

Redaksi
×

Tidak Sejahat Firaun, Kisah Khalifah Al-Makmun dengan Ulama

Sebarkan artikel ini

Perasaan Khalifah Al-Makmun mulai terlukai, lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil sang Khatib menghadap ke istananya.

Sang khatin akhirnya datang mengunjungi istana Khalifah Al-Makmun. Khatib tersebut dijamu dengan baik dan memulyakannya.

Seleh selesai menjamu, kepada sang Khatib sang Khalifah bertanya,” Siapakah yang paling baik antara Tuan Khatib dengan Nabi Musa?”

“Tenu saja Nabi Musa yang lebih baik dari saya,” Jawab Khatib.

“Lalu, menurut pendapat Tuan Khatib, saya dibandingkan dengan Firaun jahat siapa?” Tanya Khalifah.

Sontak sang Khatib terperangah dan tak menduga pertanyaan tersebut. Dan sang khatib mulai nyadari kemana tujuan pertanyaan tersebut. Namun ia harus tetap menjawab.

“Firaun masih lebih jahat daripada Tuan Khalifah,” jawab Sang Khatib.

Khalifah Al-Makmun kemudian mengatakan bagaimanapun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, Firuan menebus hidup-hidup dayang-dayang putrinya yang bernama Masyitah beserta susuannya. Bahkan Nabi Musa diperintahkan Allah Swt untuk berkata dengan lemah lembut kepada Firaun.

“Tolong dapatkah Tuan membacakan buat saya perintah Allah yang dimuat dalam Al-Quran tersebut?,” pinta Al-Makmun.

Dengan tergagap Sang Khatab membacakan surah Thaha ayat 44:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Artinya: “Ajaklah ia untuk beriman kepada-Ku dengan lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat akan keimanan yang telah dilalaikannya, dan takut akan akibat sikapnya yang kafir dan zalim.” (QS.Thaha: 44).

Musa dan Harun diperintahkah Allah Swt menasehati dengan bahasa yang baik dan halus. Khalifah Al-Makmun tersenyum.

Kemudian sang Khalifah mengatakan,”Layakkah jika saya meminta tuan khatib untuk menegur saya dengan bahasa yang baik dan sopan. Sebab Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun.”

Sang Khatib hanya bisa diam. Namun dalam hatinya belum ada kepuasan, ingin rasanya tetap mengutuk Khalifah Al-Makmun dengan kalimat yang lebih keras dan lantang.

Namun apa yang dilakukan sang Khatib seakan mengambarkan bahwasanya ia telah memanfaatkan mimbat khutbah yang mulia menjadi mimbar yang penuh dengan kebencian. Sungguh tidak sejahat Firaun mengambarkan bahwa pada diri seseorang ada hal positif dan kebaikan.

Allah Swt berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: “Wahai Nabi, ajaklah manusia meniti jalan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanmu. Pilihlah jalan dakwah terbaik yang sesuai dengan kondisi manusia. Ajaklah kaum cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi untuk berdialog dengan kata-kata bijak, sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, ajaklah mereka dengan memberikan nasihat dan perumpamaan yang sesuai dengan taraf mereka sehingga mereka sampai kepada kebenaran melalui jalan terdekat yang paling cocok untuk mereka. Debatlah Ahl al-Kitâb yang menganut agama-agama terdahulu dengan logika dan retorika yang halus, melalui perdebatan yang baik, lepas dari kekerasan dan umpatan agar mereka puas dan menerima dengan lapang dada. Itulah metode berdakwah yang benar kepada agama Allah sesuai dengan kecenderungan setiap manusia. Tempuhlah cara itu dalam menghadapi mereka. Sesudah itu serahkan urusan mereka pada Allah yang Maha Mengetahui siapa yang larut dalam kesesatan dan menjauhkan diri dari jalan keselamatan, dan siapa yang sehat jiwanya lalu mendapat petunjuk dan beriman dengan apa yang kamu bawa.” (QS. An-Nahl: 125).