Scroll untuk baca artikel
Cerpen

Tikus – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Tikus – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Yang sebenarnya menarik dari  diriku ini apa sih Kang?” tanya Cempluk sembari menyodorkan sepiring nasi kepada Sariman.  Suaranyapun dibikin sedikit kemayu.  Mendengar pertanyaan Cempluk, penarik becak itu hanya geleng-geleng kepala saja.  Hatinya serasa gemes sekali oleh tingkah polah istrinya tersebut.  Bagaimana Sariman tidak gemes, ia  sudah  empat tahun mempersunting perempuan asal Desa Jonggrangan tersebut namun begitu kekenesan perempuan itu seperti tak luntur dimakan usia.  Bahkan rasanya semakin hari semakin menarik hatinya saja.

“Ditanya kok malah geleng-geleng kepala saja.  Kayak anak monyet kehilangan emaknya,” ucap Cempluk sambil terkekeh-kekeh.  Sementara itu tangannya sibuk menyeduh secangkir kopi pesanan Sariman.

“Anu Pluk,” jawab Sariman sambil mulutnya sibuk mengunyah tempe goreng.  Sementara matanya memelototi bagian tertentu dari tubuh Cempluk istrinya tersebut.

“Halah paling-paling iniku!” sahut Cempluk sambil menunjuk pantatnya dan selanjutnya tertawa terbahak-bahak.  Melihat kekenesan istrinya tersebut sekali lagi Sariman hanya dapat geleng-geleng kepala saja.  Dalam hati ia membenarkan perkataan istrinya barusan.

“Seminggu lagi emak mau ke sini.  Katanya sudah bosan tinggal sendirian di desa.  Garapan padinya selalu saja dimakan wereng.  Emak mau menjadi pembantu rumah tangga saja katanya,” sambung Cempluk sambil tangannya sibuk mencuci piring bekas sarapan Sariman.  Mendengar bahwa mertuanya mau datang, spontan raut wajah Sariman menegang.  Ingatannya langsung melayang pada sesosok perempuan setengah tua yang cerewetnya melebihi burung beo itu.  Namun sebenarnya mertuanya tersebut sangat menyayangi Sariman.

“Emak sudah bosan jadi buruh tani melulu.  Lebih banyak buntungnya ketimbang untungnya!” sambung Cempluk kembali sembari menyerahkan handuk kecil kepada Sariman.

“Kebetulan sekali Pluk.  Emak biar tinggal di sini saja.  Biar nemani si Kuncung dan Jabrik anak kita, jawab Sariman sambil melangkah keluar rumah menuju becaknya.  Tak lupa sebelum pergi, lelaki berambut keriting itu menyelipkan beberapa lembar uang ribuan ke balik kutang Cempluk.  Melihat ulah nakal sariman, Cempluk hanya tersipu-sipu malu.

“Buat pegangan nanti kalau Emak jadi tinggal di sini,” ucap Sariman sembari mengelus pipi Cempluk.  Kontan saja pipi Cempluk basah oleh air mata.  Segera saja keharuan menyelimuti batin perempuan yang sehari-hari hanya bbekerja sebagai buruh cuci baju tersebut.  Meski Sariman hanya seorang tukang becak tetapi ia begitu sangat sayang dan perhatian sekali kepada keluarganya.  Ia tak seperti tukang becak yang lain.  Kalau lagi sepi tarikan, biasanya Sariman lebih suka jadi buruh angkut di pasar tempatnya mangkal.  Ia tidak seperti kawan-kawannya yang lain.  Kalau sepi tarikan justru pada judi kartu atau sibuk meramal togel.

Hari ini Minggu Kliwon.  Sebagaimana biasanya Sariman mangkal di pasar hewan.  Hari Minggu pasaran seperti sekarang ini biasanya ramai sekali.  Lelaki berperawakan pendek berkulit legam itu berharap akan mendapat penumpang yang lebih banyak daripada biasanya.

Benar saja dugaan Sariman.  Baru saja ia memarkir becaknya, seorang lelaki setengah baya telah memintanya untuk mengantarkannya pulang.  Belum lagi genap dua jam Sariman Mangkal, beberapa lembar uang ribuan telah ia kantongi.  Hatinya sedemikian girangnya.  Saking girangnya, Sariman pun berniat untuk membelikan sesuatu sebagai hadiah untuk mertuanya nanti.  Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, penarik becak itupun  telah terlihat mengayunkan langkah kakinya menuju deretan pedagang kaki lima yang terletak di halaman selatan pasar hewan tersebut.