Scroll untuk baca artikel
Blog

Titik Temu Ketakwaan dalam Selimut Ramadan

Redaksi
×

Titik Temu Ketakwaan dalam Selimut Ramadan

Sebarkan artikel ini

Alhamdulillah kita masih diberikan nikmat dengan kesempatan bertemunya bulan yang mulia ini. Bulan dimana kalam agung diturunkan, bulan diwajibkannya berpuasa bagi seorang muslim yang mampu. Dan salah satu point dalam menjalankan puasa ramadan adalah derajat takwa. Namun hingga saat ini definisi tentang takwa itu sendiri masih banyak yang memperdebatkan. Apakah ia lahir sebagai wujud kesalehan individu ataukah sosial? Satu wujud variabel yang mewarnai berbagai nilai yang ada di dunia ini. Dalam ayat lain tepatnya pada surat Ath Thalaq ayat 2-3, takwa disebutkan berkait dengan tawakkal.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.  (QS. Al Baqarah: 183)

Secara bagus Muhammad Zuhri mengatakan bahwa titik temu adalah kesamaan anggapan tentang nilai-nilai yang terbentang di dalam cakrawala kehidupan yang menjadi sasaran operasional setiap individu manusia. Penguasaan terhadapnya berwujud orientasi keluar lewat pengabdian sosial, menawarkan hasil kreatifitas. Atau bereksplorasi keruangan dengan menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan hidup yang bersifat obyektif.

Berkiprah dalam dimensi tersebut membutuhkan intelektual, bakat, keahlian dan pengetahuan tentang kausalitas alam dan sosial. Serta ambisi yang kuat sebagai dinamis-motifnya. Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat manusia agar dapat berperan serta dalam menangani kepentingan bersamadalam lini kehidupan.  Golongan yang berekspansi ke luar lewat dimensi nilai ini disebut golongan muttaqin oleh Al-Qur’an. “Dan siapa taqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberinya rizki dan arah yang tak dapat diduga” (QS. Ath-Thalaq:3).

Takwa

Bedanya dengan anak sang waktu (mutawakkilin) yang mendapatkan ‘peran’ yang tak tergantikan dari Tuhan. Putera ruang (mutaqin) ini akan memperoleh ‘fungsi’ dari masyarakat yang dapat digantikan oleh pihak lain. Bila anak sang waktu dianugerahi ilmu Allah yang tak bisa dicerna akal. Putra ruang akan dikaruniai ilmu pengetahuan obyektif dari masyarakat dan alamnya. Ketika anak sang waktu menemukan titik-beda dirinya dengan yang lain sebagai hasil dari menggarap diri. Putera ruang menemukan titik temu dirinya dengan semua individu lewat menggarap alam dan lingkungannya. Dan ketika seorang mutawakkilin berada dalam martabat wahdah (unity), seorang mutaqin berada dalam martabat jam’iyah (universality). 

Begitulah tawakkal dan takwa merupakan dua konsep orang beriman di dalam menemukan dunia-diri dan dunia-milik sebagai medan mencari ridha Allah. Kegagalan seseorang di dalam menangani dunia-milik disebabkan kurang akuratnya di dalam menggarap dunia-diri. Maka untuk mengatasi semua masalah yang berupa bencana, stagnasi, ataupun dilematika kehidupan bukan dengan aktivitas keluar. Melainkan dengan kembali membenahi dunia diri atau sisi dalam dari realita kehidupan kita. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan yang ada dalam suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada di dalam dirinya.” (Ar-Ra’du: 30).

Dan lahirlah Sufi-sufi Muhammadis yang berorientasi di dalam dua semesta sekaligus dengan konsep Taqwa dan Tawakkal. Demi mencari ridla-Nya di dunia dan di akhirat. Dan tutuplah layar kerahiban yang lari dari tanggung jawab sosial untuk mencari kepuasan spiritual semata. 

Kerahiban merupakan penyimpangan dari perolehan ketawakalan demi mencapai kesucian pribadi semata, sehingga tertutup baginya untuk menyentuh semesta ketakwaan (pengabdian sosial). “Dan mereka mengada-adakan kerahiban yang tidak Kami perintahkan kepada mereka.” (Al-Hadid: 27)