Sementara mereka yang bersekolah dan kuliah itu tidak sedikit yang individualistik dan materialistik.
Output kepandaian bukannya kerendah hatian dan kebijaksanaan, melainkan keangkuhan. Output kekayaan bukannya kedermawanan dan kebijaksanaan, tetapi kesombongan dan riya. Punya kekuatan bukannya semakin lemah lembut dan welas asih, melainkan semena-mena dan arogansi.
Pendidikan itu seharusnya mengantarkan manusia untuk memahami arti tentang kemanusiaannya, bukan malah sebaliknya. Ini bukan sekolah keangkuhan dan universitas kesombongan.
Saya bukannya anti dengan pendidikan sekolah atau kuliah, justeru sebaliknya. Saya bahkan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Dan setiap orang itu berhak mendapatkan pendidikan. Jalannya bermacam-macam, caranya beragam. Di sekolah, di pasar, di jalan raya, di pabrik di rumah dan ditempat manapun orang akan tetap bisa belajar.
Saat kuliah, saya tidak ingin jadi mahasiswa yang cerdas, jenius, cumlaude bahkan lulus tepat waktu. Bagiku jika saya bisa menghormati orang lain itu sudah cukup, asal tidak menyakiti orang lain sudah cukup, asal tidak mengambil barang yang bukan haknya itu sudah cukup. Belum bermanfaat tak masalah, asal tidak mendatangkan madharat. Tak bisa diandalkan pun tak jadi soal, asal tidak menyusahkan.
Kehidupan itu penuh ketidakpastian dan ketidakmenentuan. Multidimensi dan tidak harus linier. Yang pandai tidak pasti sukses, yang bodoh tidak berarti tak punya masa depan. Yang kaya belum tentu bahagia, dan yang miskin belum tentu menderita. Yang nampak indah bisa jadi menipu, yang nampak buruk bisa jadi menyelamatkan. Yang kita benci bisa jadi baik, sedang yang kita sukai bisa jadi itu buruk.
Dalam ketidakpastian dan ketidakmenentuan itu, kita meski harus optimis dalam menjalani hidup. Tuhan melarang untuk berputus asa, karena salah satu ciri orang beriman adalah tidak berputus asa dari rahmat Tuhan.
Saya berusaha untuk tidak memandang orang berdasarkan kaya miskinnya status sosialnya, ataupun jenis pekerjaannya. Saya tidak beranggapan yang kerja pakai sepatu itu lebih mulia daripada yang pakai cangkul. Yang kerja pakai dasi itu lebih terhormat dari pada yang pakai cetok dan palu.
Barangkali mereka yang pergi ke sawah adalah sama mulianya dengan yang pergi ke sekolah. Bisa jadi mereka yang pergi ke laut itu sama terhormatnya dengan yang pergi ke kantor. Bagi saya pribadi, mereka yang bertani kemudian mempelajari ilmu soal tanam, prediksi cuaca, pupuk dan memanen barangkali adalah sarjana-sarjana kehidupan tanpa gelar akademik. Mereka belajar tentang kehidupan berdasarkan pengalaman-pengalamanya.