Oleh: Syaiful Rozak
Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa pendidikan adalah sebuah kompetisi. Sebuah kompetisi melahirkan pemenang dan pecundang. Sedangkan pendidikan tidak melahirkan pecundang. Pendidikan tidak membagi anak yang cerdas sebagai pemenang dan anak yang bodoh sebagai pihak yang kalah, sekalipun pendidikan tetap mengapresiasi mereka yang berprestasi.
Pada dasarnya pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Pendidikan mengantarkan manusia untuk mengenali diri dan lingkungannya. Melalui pendidikan seseorang dapat mengerti tanggung jawab dirinya dengan lingkungan sosialnya. Dari pengertian tersebut rasanya seperti sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah kompetisi.
Pendidikan yang dikompetisikan adalah pendidikan yang membebani fikiran. Alih-alih anak dilatih untuk bekerja sama untuk memecahkan persoalan kehidupan, kompetisi justru menjauhkannya menjadi individual.
Kompetisi membebani anak untuk berpikir mengalahkan atau dikalahkan. Memang benar tidak sepenuhnya kompetisi itu buruk, akan tetapi praktek kompetisi dalam pendidikan seringkali menimbulkan iklim yang kurang sehat.
Meskipun demikian, dunia pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari apa yang namanya kompetisi. Sekolah dan perguruan tinggi saling berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan nomor satu. Segala cara kemudian diupayakan untuk itu. Ada penyebutan sekolah favorit, ada sekolah bertaraf nasional dan internasional.
Ada pula kampus favorit dan sebagainya. Bahkan untuk menjaga kualitas tidak jarang sekolah-sekolah favorit hanya menerima siswa yang nilai rapotnya tertinggi (sebelum ada kebijakan zonasi). Kampus favorit juga hanya menerima calon mahasiswa dengan nilai tertinggi dengan seleksi yang ketat.
Dalam kondisi demikian, calon siswa ataupun mahasiswa tanpa sadar telah dibiasakan untuk berkompetisi sedari masa pendidikan. Siapa yang ingin masuk sekolah favorit harus punya nilai rapot yang bagus, siapa ingin masuk perguruan tinggi favorit harus memiliki kemampuan diatas rata-rata.
Masing-masing anak saling berkompetisi untuk diterima di sekolah ataupun perguruan tinggi favorit. Sialnya ketika mereka lulus kuliah, mereka harus berkompetisi lagi dalam mencari pekerjaan. Kehidupan seakan sebuah kompetisi.
Dalam lingkungan yang serba dengan kompetisi, setiap orang harus menjadi yang terbaik bila ingin jadi pemenang. Setiap orang bersaing untuk menjadi yang terbaik. Siapa tidak bisa bersaing akan tersisihkan dan tergilas oleh zaman. Dan barangkali sistem pendidikan kita masih menggunakan gaya kompetisi.
Kompetisi dan Permusuhan
Dalam sebuah kompetisi harus ada yang menang dan kalah. Jika ingin jadi pemenang maka harus mengalahkan, jika tak mau tersingkir maka harus menyingkirkan. Logika kompetisi adalah saling mengalahkan dan menyingkirkan.
Tidak ada sama-sama menang dalam kamus kompetisi. Seorang peserta kompetisi, tidak hanya dilatih harus menang, akan tetapi juga dibiasakan memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.
Mereka yang berada dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Dalam tulisan artikel Bukik Setiawan menyebutkan bahwa riset membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila ada yang menghalangi, maka anak tersebut harus dimusuhi.
Logika kompetisi berangkat dari asumsi bahwa prestasi semata-mata diukur berdasarkan perlombaan. Kita jumpai di sekolah ataupun perguruan tinggi mengadakan lomba cerdas cermat, lomba pidato, lomba menulis, debat mahasiswa sampai olimpiade sains nasional dan internasional. Kemudian prestasi diukur berdasarkan juara dan jumlah piala yang diraih.