Scroll untuk baca artikel
Blog

Unjuk Gigi Barisan Oposisi

Redaksi
×

Unjuk Gigi Barisan Oposisi

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Melihat kondisi Indonesia yang semakin memburuk, wajar bila di antara 260 juta rakyat Indonesia ini ada yang tergerak nurani dan logika berpikirnya. Para tokoh yang vokal mengoreksi kebijakan penguasa membentuk satu gerakan moral untuk menyelamatkan Indonesia. Deklarasi gerakan tersebut dinamai Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Di antara tokoh yang tampak hadir dalam deklarasi ialah Said Didu, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, akademisi Rocky Gerung, Habib Muchsin bin Ahmad Alatas hingga eks Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Terbentuknya deklarasi yang dihadiri ratusan tokoh nasional sangat wajar terjadi. Mengingat, pemerintahan yang dibangun era Jokowi selama dua periode sudah keluar dari jalurnya. Terkesan ugal-ugalan, ngawur, dan tidak terpancar performa negarawan sejati. Wajah pemerintahan Jokowi lebih kental dengan aroma oligarki, neoliberal, dan kapitalis sejati. Hal ini bisa kita telusuri rekam jejak kebijakan-kebijakannya.

Maka, sangat alamiah bila muncul gerakan moral untuk menyelamatkan negeri ini dari jurang kehancuran. Keresahan para tokoh KAMI sangat beralasan. Terlebih pasca Indonesia dihantam pandemik Covid-19. Model kepemimpinan Jokowi yang liberal kapitalistik makin nampak jelas. Dalam satu persoalan saja, pandemik Covid-19 misalnya, kebijakan pemerintahan Jokowi lebih peduli dengan pemulihan ekonomi dibanding penyelamatan nyawa rakyat. Dari sini bisa kita lihat sikap egois penguasa. Kebijakannya banyak mengakomodir kepentingan kapitalis (pengusaha) dari pada kemaslahatan rakyat.

Belum lagi utang yang membumbung tinggi, ancaman resesi, PHK massal, kemiskinan, pejabat asbun, dan sejumlah persoalan lainnya. Deklarasi KAMI yang digagas para tokoh bangsa memberi pesan untuk kita dalam beberapa hal:

Pertama, masalah politik. Sudah jamak diketahui, rezim Jokowi lebih dikenal dengan politik berat sebelah, anti kritik, dan represif. Dalam aspek kritik, pemerintahan Jokowi selalu menjawab kritik dengan tuduhan. Bukan dengan perbaikan kinerja. Lihat bagaimana reaksi istana terhadap kehadiran KAMI. Mereka justru baper dibuatnya. Belum apa-apa pemerintah sudah resisten.

Gerakan ini dianggap sebagai gerakan politik untuk membentuk kekuatan baru melawan pemerintahan yang sah. Pola mereka selalu begini. Saat ada kelompok/ormas/komunitas/gerakan, menjustifikasi dulu, klarifikasi belakangan. Menutup diri dari kritik, melakukan pembelaan buta. Bila hal itu tak mempan, barulah mulai menebar fitnah, framing, atau tuduhan tak berdasar.

Kedua, masalah hukum. Selama pemerintahan ini berkuasa, hukum tak benar-benar ditegakkan. Hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya, hukum melemah manakala berkaitan dengan pihak pro penguasa. Sebaliknya, hukum menjadi alat pukul tatkala bersinggungan dengan pihak oposisi. Realitas ini nampak dari reaksi pemerintah terhadap pengkritiknya. Bagaimana massifnya kriminalisasi terhadap tokoh publik, ulama, aktivis, yang berakhir di jeruji besi. Alasannya klasik. Tindakan makar lah, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan lain-lain. Dengan kata lain, penguasa menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Ketiga, masalah sosial. Hal ini berkaitan dengan kepekaan sosial pejabat negara. Sejauh mana ia merasakan kedukaan rakyat yang dipimpinnya. Bukan sekadar membaca teks pidato untuk formalitas belaka. Tapi, rasa kepedulian itu mestinya ditunjukkan dengan kebijakan yang memihak kepentingan rakyat. Bukan mengatasnamakan rakyat untuk memuluskan jalan para konglomerat.

Rakyat bukanlah sapi perah yang hanya diperas suaranya untuk memenangkan kompetisi pemilu. Mereka bersuara karena percaya pemimpin pilihannya akan amanah. Namun, faktanya tidak demikian. Ketika sudah enak di kursi kekuasaan, penguasa seperti kacang lupa kulitnya. Lalai dan khianat.