Webinar Bright Institute membahas secara mendalam hubungan dagang Indonesia-China, menyoroti defisit perdagangan yang signifikan, peluang investasi dan ketergantungan ekonomi.
BARISAN.CO – Bright Institute menyelenggarakan webinar bertema Untung Rugi Dagang dengan China pada Selasa (19/11/2024).
Diskusi ini menghadirkan ekonom senior Awalil Rizky sebagai narasumber, yang mengupas berbagai aspek penting hubungan dagang Indonesia-China, termasuk data perdagangan terbaru dan implikasi strategisnya terhadap ekonomi nasional.
Awalil Rizky memulai paparannya dengan menyoroti posisi dominan China dalam perdagangan luar negeri Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa perdagangan antara kedua negara telah meningkat pesat selama dekade terakhir, terutama pada era pemerintahan Jokowi.
“China adalah mitra dagang terbesar Indonesia untuk sektor nonmigas, tetapi neraca perdagangan kita masih mengalami defisit signifikan,” ujar Awalil.
Mengacu pada data Januari hingga Oktober 2024, total ekspor nonmigas Indonesia ke China mencapai 48,19 miliar dolar AS, atau 23,6 persen dari keseluruhan ekspor nonmigas nasional.
Namun, di sisi impor, angka mencapai 57,81 miliar dolar AS, yang berarti 35,6 persen dari total impor nonmigas.
Akibatnya, Indonesia mencatat defisit perdagangan dengan China sebesar 9,62 miliar dolar AS selama periode tersebut.
Meski begitu, secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia masih surplus 24,43 miliar dolar AS, berkat kontribusi dari negara mitra lainnya.
“China jelas penting, tetapi ketergantungan pada impor produk elektronik, mesin, besi, baja, dan komoditas lain dari negara tersebut membuat kita rentan terhadap defisit,” tambah Awalil.
Investasi dan Utang dari China
Selain perdagangan, China juga menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Pada 2024, hingga September, penanaman modal asing (PMA) asal China menempati posisi ketiga dengan nilai mencapai 5,78 miliar dolar AS, atau sekitar 14,8 persen dari total PMA.
Sektor unggulan investasi China meliputi industri pengolahan logam dasar, transportasi, serta kawasan industri.
Awalil juga menyoroti meningkatnya utang luar negeri Indonesia kepada China, terutama dari sektor swasta.
Hingga akhir September 2024, utang luar negeri swasta dari China tercatat sebesar 21,14 miliar dolar AS, yang melonjak drastis dibandingkan 2014, yaitu 6,88 miliar dolar AS.
“Kita harus berhati-hati agar peningkatan utang ini tidak menjadi beban di masa depan,” imbuhnya.
Awalil menyebut bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia pada China dapat menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, hubungan ini membawa peluang besar untuk meningkatkan nilai tambah ekspor dan mendorong pertumbuhan sektor hilir, seperti hilirisasi perikanan dan pertanian.
Namun, di sisi lain, ada risiko ketergantungan yang terlalu besar, terutama jika kebijakan perdagangan global berubah atau rival ekonomi seperti Amerika Serikat mengambil langkah strategis untuk menyaingi dominasi China di kawasan.
Ia juga menyoroti pentingnya diversifikasi mitra dagang dan investasi agar Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih baik di pasar global.
Selain itu, Awalil menggarisbawahi peluang integrasi ekonomi melalui kerja sama BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), yang kini semakin relevan.
“Kuncinya adalah fokus pada peningkatan daya saing ekspor, diversifikasi produk, dan penguatan industri dalam negeri. Selain itu, adopsi penggunaan mata uang lokal seperti yuan dan rupiah dalam transaksi dagang bisa mengurangi risiko nilai tukar,” terang Awalil. []