Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – Utang bertambah karena dampak ekonomi pandemi, bisa dimaklumi. Namun mesti jelas tentang seberapa dan biayanya, serta dipergunakan untuk apa saja. Penjelasan tidak cukup hanya dengan beberapa kata pamungkas. Seperti biaya pemulihan ekonomi, aman dan terkendali, serta telah dikelola secara berhati-hati. Cara demikian berpotensi membenarkan kesalahan fatal dari kebijakan pengelolaan utang Pemerintah.
Sebelum pendemi, mantera sakti Pemerintah tentang klaim aman berupa rasio utang akan dijaga di kisaran 30%dari PDB. Kini setelah rasio dilewati, yang dikedepankan mantera “masih terkendali dan telah dikelola secara hati-hati.” Angka rasio atas PDB masih tetap disebut, namun dalam konteks besaranya kurang dari 60%, yang disebut sebagai batas aman.
Sebenarnya rasio dimaksud sebagai batas aman lebih merupakan tafsiran Pemerintah. Pasal 12 ayat 3 dari UU No.17/2003 berbunyi, “Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.” Penjelasan ayat ini berbunyi, “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.”
Tidak ada pernyataan tegas tentang ukuran batas aman. Bisa saja dikatakan bahwa rasio itu hanya merupakan batas yang tidak boleh dilanggar dalam mengelola defisit APBN dan berutang untuk membiayainya. Bukan dipakai sebagai ukuran aman atau tidaknya.
Jika Pemerintah bersikeras sebagai ukuran batas aman, seharusnya juga memakai batas defisitnya. Batas defisit 3% menjadi ukuran aman dan tidaknya pengelolaan APBN. Terlepas telah diberi payung hukum yang membolehkan, batas aman jelas telah dilampaui.
Sebagian pihak mengatakan bahwa “dasar pemikiran” dibalik besaran rasio itu memang batas aman yang dikaitkan dengan rasio pajak atas PDB suatu negara. Pelunasan utang dan bunga akan dibayar dengan pendapatan negara, yang porsi terbesarnya adalah pajak. Berdasar pengalaman banyak negara, akan cukup aman jika rasio utang di bawah dua kali rasio pajak.
Dalam konteks itu, utang pemerintah sudah tidak aman selama beberapa tahun terakhir. Dengan memakai ukuran rasio pajak dalam arti luas, mulai tahun 2015. Dan jika memakai rasio pajak dalam arti sempit, sudah terjadi lebih lama lagi.
Khasanah teori dan dokumen terdahulu dari Pemerintah tentang utang sebenarnya telah banyak membicarakan soalan ini. Intinya, keamanan utang merujuk pada kemampuan membayar tanpa mempengaruhi tugas utama Pemerintah hingga bertahun-tahun ke depan. Biasa dikenal sebagai keberlanjutan atau kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).
Kajian Badan Kebijakan Fiskal bahkan sempat mendefinisikan kesinambungan fiskal sebagai suatu kondisi yang menunjukkan terwujudnya fiskal yang sehat secara terus-menerus yang diindikasikan dengan relatif terjaganya defisit anggaran dan menurunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Dikatakan bahwa salah satu upaya untuk menjaganya dengan mengendalikan tingkat kerentanan (vulnerability) dalam batas toleransi. Kerentanan fiskal adalah suatu kondisi tertekannya ketahanan fiskal sehingga berpotensi menurunkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya (solvabilitas), serta menghambat proses pencapaian target-target pembangunan.
Sebelum terjadinya pandemi, kondisi fiskal Pemerintah sejatinya sudah tidak bisa dikatakan sehat atau baik-baik saja. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun telah memberi “peringatan” terkait hal ini melalui Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bernomor 19e/LHP/XV/06/2020, tertanggal 15 Juni 2020. LHP itu tentang hasil reviu atas kesinambungan fiskal hingga akhir tahun 2019.