Oleh: Lukman Hakim Hasan
(Ekonom Universitas Negeri Sebelas Maret)
Barisan.co – Dalam peringatan 75 tahun Indonesia merdeka yang tidak kita pungkiri bahwa secara poltik, kita telah mencapai keadaan yang sangat pesat, namun ekonomi masih melambat. Sebagai bangsa yang meraih kemerdekaannya tidak mudah, capaian seperti ini telah harus disyukuri. Mengapa, karena banyak contoh negara atau bangsa yang lebih buruk nasibnya daripada Indonesia.
Beberapa negara Islam di Timur Tengah hari ini masih ada yang berperang atas nama madzab yang berbeda. Di beberapa negara Afrika masih berkubang dengan kelaparan dan kemiskinan. Indonesia sejauh ini masih bisa bertahan dalam situasi peta global yang yang berubah-ubah secara dinamis.
Secara politik sejak jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia telah memilih sistem politik demokratis multipartai. Jika pada Orde Baru partai-partai berdasarkan ideologi disederhanakan hanya dua partai politik. Pertama, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai nasionalis seperti PNI, Murba, Partai Katolik, dan beberapa partai sekuler yang lain.
Kedua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai Islam seperti NU, Parmusyi, Perti, dan partai-partai Islam yang lain. Dan tentu saja juaranya adalah Golkar (Golongan Karya). Kendatipun Golkar tidak mau disebut Partai, tetapi dalam praktiknya bertindak sebagai “Partai Penguasa”.
Golkar dipergunakan oleh Presiden Soeharto sebagai mesin politik untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis. Seperti ditunjukkan setiap lima tahun ada pesta demokrasi Pemilu. Ada DPR dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dipilih melalu Pemilu. Serta ada MPR yang merupakan majelis teringgi yang berisi DPR dan golongan-golongan yang diangkat, menjadi lembaga yang memilih Presiden/Wakil Presiden untuk memimpin selama 5 tahun.
Namun banyak yang menyatakan bahwa inilah model “demokrasi semu” yang berjalan selama 32 tahun. Rezim ini jatuh manakala Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, dan naik B.J. Habibie sebagai Presiden yang sebelumnya adalah Wapres. Sejak itu kita masuk ke “zaman baru” yang disebut dengan era reformasi.
Era reformasi ini adalah masa demokrasi kepartaian kembali berjaya. Selain ada partai-partai lama seperti PDI yang sudah berubah menjadi PDIP, PPP, dan Golkar, juga lahir partai-partai baru. Lahir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) partai yang berasal dari kalangan NU yang diinisiasi oleh KH Abdurrahman Wahid yang juga mantan Ketua PB NU.
Partai Amanat Nasional (PAN) yang dilahirkan oleh Tokoh Reformasi Amien Rais yang sebelumnya juga Ketua PP Muhammadiyah. Selain itu juga lahir beberapa partai Islam yang lain seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang diinisiasi para tokoh Masyumi, Partai Keadilan (PK) yang dilahirkan oleh gerakan tarbiyah yang banyak berkembang di kampus-kampus.
Dalam Pemilu 1999, pemenangn Pemilu berturut-turut adalah PDIP (33%), Golkar (22%), PKB (12%), PPP (10%), dan PAN (7%). Sistem yang dipakai masih sistem lama yakni Presiden dipilih oleh MPR. Presiden Habibie tidak jadi mencalonkan diri, karena Golkar bukan pemenang Pemilu. Amien Rais memunculkan wacana “Poros Tengah” di mana KH Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih sebagai Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wapresnya.
Keberhasilan Pemilu 1999 yang melahirkan Presiden dan Wapres yang demokratis menjadi modal dasar pembangunan politik Indonesia hingga saat ini. Karena dalam periode ini, ditetapkan dasar-dasar demokrasi modern di mana Pemilihan Presiden dan Wapres untuk periode berikutnya adalah menggukan sistem one man one vote.