Barisan.co – Alkisah, suatu ketika Nu’aiman, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang hobi bercanda, pergi dalam suatu perniagaan ke Bashrah bersama Abu Bakar. Turut pula Suwaidan, yang bertugas membawa perbekalan.
Singkat kisah, ketika beristirahat Nu’aiman meminta makan kepada Suwaidan, tapi Suwaidan menolak karena Abu Bakar lagi tak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya.
“O, begitu ya, nantikan pembalasanku!” ancam Nu’aiman, yang sebetulnya ancaman gurauan saja.
Bertandanglah Nu’aiman kepada beberapa orang, sesama peniaga, menawarkan Suwaidan kepada mereka. Padahal jelas, si Suwaidan ini bukan hamba sahaya, alias seorang merdeka. Namun, memang dasar Nu’aiman, kepada para peniaga itu, dijelaskanlah bahwa Suwaidan adalah hamba sahaya yang berharga teramat sangat murah. Dijelaskan pula, meski berharga murah, tapi memiliki kelemahan: acap kali mendaku diri sebagai orang merdeka.
Tawar-menawar selesai, lantas bersama mereka, Nu’aiman menuju tempat Suwaidan istirahat. Sontak Suwaidan kaget, salah seorang peniaga langsung mengikat dan berkata ketus: “Kami telah membelimu, dan kami tahu persis, kamu suka mengaku-aku sebagai seorang yang merdeka.”
Beruntung Abu Bakar segera datang dan mengurai persoalan, sehingga tak sampai terjadi baku hantam. Kesalahpahaman pun bisa dicegah. Namun, tetap saja, ada yang jenaka di sana. Kita menemukan sosok Nu’aiman, sosok menjengkelkan tapi mengundang tawa. Ia penggeli, super kocak. Bahkan Nabi saw yang diberitahu peristiwa tersebut tak bisa membendung raut muka semringah. Setiap beliau ingat atau diingatkan perilaku Nu’aiman itu, beliau menampakkan air muka cerah.
Tidak hanya itu, Nu’aiman bikin orang gemas. Makhramah bin Naufal, seorang tua, buta, dan telah berusia 115 tahun, suatu ketika berada di masjid dan hendak buang air kecil. Lantaran buta, ia tak kunjung menemu kamar kecil.
Nu’aiman melihatnya. Kambuhlah penyakit usilnya. Ia menuntun Makhramah ke satu tempat dan mempersilakan untuk buang air kecil. Nu’aiman meninggalkan Makhramah, dan saya bayangkan Nu’aiman melenggang menjauh dari Makhramah seraya senyam-senyum sendiri. Saya bayangkan ia mengkhayalkan reaksi orang-orang mengecam Makhramah. Dan, benar saja, karena Makhramah buang hajat tidak di kamar kecil, atau tidak di tempat tersembunyi, Makhramah pun dikecam oleh banyak orang.
Makhramah kemudian menyadari, Nu’aiman menuntunnya ke tempat tak wajar itu adalah kesengajaan ingin mempermainkannya. Maka ia bersumpah akan memukul Nu’aiman dengan tongkat sekuat tenaga bila bertemu. Jelas Nu’aiman dengan gampang menghindari perjumpaan. Ia selalu bisa berjarak dengan Makhramah. Ia menjauh cukup lama, hingga Makhramah pun melupakan kasusnya.
Namun, sekali lagi, memang Nu’aiman sang usil yang menggemaskan, si penggeli hati. Ia datang menemui Makhramah dan mengingatkan peristiwa itu. “Engkau ingn memukul Nu’aiman kan? Itu dia lagi salat,”
Lagi-lagi Nu’aiman bermaksud mengusili Makhramah. Yang ditunjuk sebagai Nu’aiman, yang sedang salat, itu sebetulnya adalah Utsman bin Affan. Nu’aiman menuntunnya, mendekatkan kepada Utsman yang sedang khusyuk salat. Lantas dengan sekuat tenaga, saking mangkel kepada Nu’aiman, Makhramah memukul Utsman. Dan, Utsman bin Affan pun terluka.
Begitulah, sekelumit kisah Nu’aiman yang dituturkan Gus Baha. Kisah kocak, sekaligus menggemaskan. Kisah jenaka, yang justru menunjukkan bahwa Nabi saw dan sahabat-sahabat beliau itu ternyata tidak jarang bersantai dan tertawa riang. Mereka saling mengerjai.