Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – Dua tahun lalu, Pemerintah mensosialisasikan tema besar APBN 2019, yaitu “Sehat, Adil, dan Mandiri”. Tema yang merupakan klaim itu disebut dalam dokumen Nota Keuangan, keterangan pers, advertorial, dan paparan dalam berbagai kesempatan. Ketika realisasi berjalan beberapa bulan, muncul banyak tantangan dalam pengelolaannya. Pemerintah kemudian menambah penjelasan bahwa APBN 2019 masih dalam kondisi aman.
Kini timbul pertanyaan tentang bagaimana kondisi APBN 2020 yang masih berjalan, dan proyeksi APBN 2021 yang baru ditetapkan bersama dengan DPR. Mestinya berdasar ukuran atau penalaran serupa yang dikemukan dua tahun lalu. Dampak pandemi diakui teramat besar, namun metode asesmen harusnya konsisten.
Dahulu dijelaskan bahwa Sehat artinya APBN 2019 memiliki defisit yang semakin rendah dan keseimbangan primer menuju positif.
Ketika ditetapkan, realisasi APBN 2018 yang sedang berjalan memang memberi optimisme berlebih pada Pemerintah menyongsong tahun 2019. Pendapatan negara yang melampaui target, membuat kondisi defisit dan keseimbangan primer APBN tampak membaik. Ditetapkanlah target yang terlampau optimis.
Kenyataannya kemudian, kondisi tahun 2019 tidak seperti yang diharapkan.
Dari target defisit sebesar Rp296 triliun (1,84% PDB), dalam realisasinya menjadi Rp348,65 triliun (2,20% PDB). Dari target keseimbangan primer sebesar minus Rp20,11 triliun, dalam realisasinya menjadi minus Rp71,13 triliun.
Pemerintah masih saja mengumbar optimisme ketika APBN 2020 ditetapkan. Yakni defisit sebesar Rp307,22 triliun (1,76% PDB), dan keseimbangan Primer hanya minus Rp12,01 triliun. Target yang kembali tidak realistis berdasar realisasi 2019. Target kenaikan pendapatan juga jauh lebih besar dari rata-rata historisnya. Padahal, tidak ada rencana kebijakan besar yang menopang pencapaiannya.
Ketika ada pukulan dampak pandemi, maka kondisi APBN menjadi amat buruk. Perpres 72/2020 yang berfungsi sebagai APBN Perubahan memangkas secara drastis hampir seperempat dari target pendapatan. Sementara itu, belanja justru sedikit bertambah, meski Pemerintah mengaku telah mengupayakan berbagai penghematan dan penajaman.
Akibatnya, target defisit berubah menjadi sebesar Rp1.039,22 trilun (6,34% PDB). Sedangkan keseimbangan primer terpaksa menjadi minus Rp700,43 triliun. Dengan begitu, tidak hanya pelunasan atau cicilan utang lama yang dibayar dengan penarikan utang baru. Melainkan seluruh bunga utang (Rp338,78 triliun) akan dibayar dengan utang baru.
APBN 2021 yang baru ditetapkan belum menunjukkan perbaikan berarti tentang kedua hal ini. Defisit masih direncanakan sebesar Rp1.006,4 triliun (5,70% PDB) dan keseimbangan primer sebesar minus Rp633,1 triliun. Masih serupa tahun 2020, seluruh bunga utang akan dibayar dengan utang baru.
Berdasar cara dan ukuran dari Pemerintah dalam menjelaskan sehatnya APBN 2019, maka APBN 2020 dan 2021 tampak tidak sehat. Tepatnya dalam kondisi sakit keras.
Dahulu penjelasan tentang Mandiri beralasan penerimaan perpajakan yang tumbuh signifikan. Dinilai memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang.
Sayangnya optimisme dan klaim APBN 2019 bersifat mandiri tidak cukup berhasil dalam realisasinya. Penerimaan Perpajakan yang ditargetkan sebesar Rp1.786,38 triliun terealisasi sebesar Rp1.546,14 triliun. Hanya 86,55% dari target. Sedangkan pembiayaan utang justru meningkat dari target sebesar Rp359,25 triliun, meningkat menjadi sebesar Rp402,05 triliun.
Target penerimaan perpajakan pada Perpres 72/2020 hanya sebesar Rp1.404,51 triliun dan APBN 2021 sebesar Rp1.481,94 triliun. Kedua target masih lebih rendah dari realisasi tahun 2019. Bahkan, masih lebih rendah dari realisasi tahun 2018.